Monday, June 1, 2009

(6) I'm an Old Maid, eh? : Rianti Elsayana Abimanyu

Bandara Juanda sudah terlihat di depan mata. Gue terbangun dan merasa punggung lumayan pegal-pegal karena perjalanan empat jam di dalam pesawat yang telah mengantarkan gue kembali pulang ke Surabaya. Sebetulnya, empat jam bukan waktu yang terlalu panjang karena sebelum perjalanan ini, gue udah terbiasa untuk pulang-pergi Hongkong-Surabaya-Hongkong untuk urusan kerjaan. Biasanya, energi gue malah semakin kenceng-kencengnya setelah kaki gue menginjakkan aspal bandara dan hidung gue mencium udara Surabaya yang kering. Mungkin juga karena gue bersemangat; home coming, berkumpul dengan keluarga, sahabat, dan Kemal… those were the highlights of every trip to Surabaya office.

Biasanya gue selalu excited dan melupakan kelelahan gue.

Biasanya gue seneng banget mengepak barang-barang dan bersiul-siul sepanjang perjalanan menuju bandara sampai Mey, rekan kerja gue di Hong Kong sana bilang, “Seneng banget, sih? Sampai siulan mulu!”

Karena biasanya gue ‘that’ excited!

Tapi…

“Kembali ke dunia nyata, ya, Re?” Tanya Mey saat kami mengunjungi pameran bunga-bunga cantik, beberapa bulan yang lalu. Saat itu, Boss sudah merelakan gue untuk kembali pulang ke Indonesia dan bekerja di kantor cabang Surabaya saja. I have my own specific reasons (yang kemudian gue pertanyakan lagi; time after time!).

“Jadi sekarang gue lagi di neraka, ya, Mey? Kok gue ngeliat kucing bertanduk iblis kayak elu?” kata gue sambil ngikik geli dengan candaan gue sendiri. Kebiasaan nggak penting.

Mey cuman nyengir-nyengir lalu dengan cueknya bilang, “Cuman orang sinting dan make kacamata minus sebelas aja yang ngatain gue kayak kucing iblis…”

“Hahaha…”

“Udaaahh… Jangan cekakan. Gue nanya beneran, Rea Gebleg, gue tadi nanyanya serius. Back to the real world, eh?”

Gue diem. Pura-pura tuli dan asyik memotret bunga-bunga tulip yang sumpah mati gue sangka dari plastik!

“Idih! Nyebelin ah! Gue dianggurin gituuuu…” omel Mey sambil membetulkan letak syalnya dan melangkah pergi menuju ke tempat lain sambil menenteng handycam. Gue tetap asyik menyibukkan diri dengan mengambil foto-foto tulip sebanyak-banyaknya meskipun gue tahu, usaha gue itu sia-sia.

Di dalam isi kepala gue saat itu adalah how to answer that question.

‘Back to the real world’ alias kembali ke dalam kehidupan nyata.

Emangnya, mana yang nyata, mana yang mimpi.

Gue kembali ke tengah-tengah keluarga, gue bisa cekakak-cekikik dengan Lana, Alin, Cathy, dan June, gue bisa ketemu sama Kemal….

Atau…

Gue menemukan kepingan diri gue di kota ini; piece by piece. Mengkoleksinya dalam sebuah puzzle yang entah kapan bakal utuh, tapi gue tahu, kepingan itu nggak bakal gue temuin di Surabaya? I’ve spent my 26 years in Surabaya, tapi tak satupun kepingan itu gue temukan di sana. Sedangkan baru dua tahun gue di sini, I found my pieces… day by day….

Lantas mana yang nyata?

Mana yang mimpi?

Gue kangen orang-orang tercinta yang kini sebentar lagi akan berbagi nafas dengan gue?

Atau udara sebuah kota yang memompa semangat gue untuk mencari kepingan gue yang hilang?

But however, pesawat Cathay Pasific ini telah mendarat dengan selamat dan gue musti bergegas turun. Masih harus mengantri koper-koper di baggages claim. Masih harus menyodorkan passport di exit door. Masih harus celingukan mencari Kemal. Dan ya, masih harus meluangkan waktu untuk lelaki yang sudah enam bulan ini menjadi pacar gue.

Still so many things to do, so I have to move my fat ass and just get it over with…

*

You’re here already, eh, Beib?” Tanya Lana di telepon. Gue sedang unpack koper gue yang segedhe-gedhe gajah, yang gue biarkan memenuhi seluruh lantai di kamar.

Yes, I am…” kata gue sambil mencari tiga keping DVD yang gue janjikan ke Lana sesaat sebelum gue pulang. “By the way, film-film pesenan lo ada semua, lho, Lan….”

Whaaaattttsss??? Termasuk When Harry Met Sally?????”

“Iya, termasuk itu.”

Bring it to me!”

“Edan! Lo yang ke sini, dong, Lana. Gila lo, ya, masa gue yang ke sana, siiiihh…”

“Hehehe… kalo gitu besok aja, deh… Lo tau kan, jarak apartemen gue ke rumah elo tuh jaraknya sebelas dua belas sama lomba triathlon gitu, kan?”

“Hidih! Hiperbolis…”

“Hey, Hun… Isn’t that middle name?” Lana cekikikan di ujung telepon.

“Lo nggak berubah; tetep nyebelin.”

“Gue berubah, dong. Makin cakep aja dengan pertambahan usia. Elo gimana?”

“Sinting!”

“Haha… Let’s grab dinner tomorrow nite, Re. Lo masih belum harus masuk kerja, kan?”

“Masih minggu depan, kok.”

“Kalau gitu, besok gue tungguin di our hotspot, ya? Jam tujuh gitu. Ntar lo nginep di apartemen gue, gimana?”

“Edan. Gue baru ketemuan sama bokap-nyokap, eh, udah elo culik gini…”

“Halah, cuman semalem ini. They’ll have you every day setelah ini, kan? Ditinggal nginep semalem di tempat gue nggak akan bikin mereka sekangen itu ama elo, lah… Kan elo bakal tiap hari ketemuan bokap-nyokap elo…”

“Sialan…”

“Oh ya, tapi kecuali lo udah mo kawin sama Kemal, sih, Re… Laen ceritanya kalau gitu. Soalnya lo bakal diculik Kemal, sampai selamanya. Jadi gue musti ngasih waktu buat lo sama bonyok elo kangen-kangenan!”

“Iiihhh…. Kawin? KAWIN? Kata apaan tuh, Lan?”

“Hahaha…. Glad to have you back, Rea… You sure didn’t change…

*

Ya.

Kawin.

Kata apaan, tuh?

Kenapa belakangan selalu menjadi kata favorit nyokap gue setiap saat kami sarapan berdua di ruang makan?

Kalau bukan cerita soal anak tetangga depan rumah yang kawin setelah lulus kuliah, Nyokap mulai bawel menceritakan soal adiknya yang kini sudah menimang cucu. Iya, cucu yang ketiga! Gue tahu kemana arah pembicaraan nggak penting setiap sarapan itu. Ya, gue bilang nggak penting karena apa urusannya sama gue, coba? Anak tetangga depan itu toh bukan anak gue, bukan sahabat gue, bukan pula gue yang bayarin pesta resepsinya; lah ini kenapa gue malah harus terintimidasi karena kebawelan nyokap gue?

Gue takut, setelah ini, Nyokap bakal cerita soal kucing yang hobi kawin setiap malam di pojokan jalan! Kalau Nyokap sampai tega ngebandingin gue sama kucing garong yang doyan kawin itu, sumpah, gue bakal minta bukti ke Nyokap bahwa gue benar-benar anaknya! J

“Usiamu sudah dua sembilan, kan, Ri…”

Bagus. Berarti Nyokap inget betul sudah setua apa anak tunggalnya ini.

“Sepupumu, si Tita, malah sudah punya anak dua…”

Dia, sih, memang selalu bercita-cita punya anak sebanyak-banyaknya, Mam! Lain sama akyuuu!

“Inget, Ri. Perempuan itu, kalau sudah umur 35 ke atas, pasti lebih susah buat punya anak…”

Hu-uh. Emang siapa yang kepingin punya anak, sih, Maaaammmm??

“Lagipula, apa, sih, yang kamu tunggu? Usia sudah cukup, pekerjaanmu bagus, dan sudah punya pacar, pula.”

Okay, Mam. I’m listening.

“Memangnya kamu mau jadi perawan tua dan bikin Mamam mati penasaran????”

MASYA ALLAH, Mamaaammm…

*

“Gue nggak ngerti, deh, Lan, sama jalan pikiran nyokap gue,” curhat gue ketika bertemu dengan Lana, di kafe Grazia, tempat kami biasa nongkrong setiap jalan ke Tunjungan Plaza. “Rasanya, nih, ya, kalau nyokap ngeliat wujud gue… beugh, yang diomongin, tuh soal kawiiiinnnnn melulu! Sebel banget gue!” Gue menyeruput kopi di gelas tinggi yang gue pesan beberapa saat yang lalu sampai tandas.

Lana cuman cekikikan melihat gue. Katanya, “Heh, biar kata elo lagi emosi jiwa, nih, tetep aja nggak usah nyedot minuman orang lain, dong…”

Hayah! Gue baru sadar kalau tadi gue ngabisin minuman sahabat gue! Haha.

“Sori, Beib. Gue emang lagi emosi jiwa, euy.”

“Iya, gue ngerti, Re. Ngerti banget.”

“Apa lagi lo kan tau persis gimana anti-nya gue sama kata-kata ‘kawin’, ‘nikah’, dan sejenisnya itu?”

“Iya.”

“Nah, ini Nyokap masih pake acara nekat segala ngomongin soal kawin-kawinan di depan muka gue! Duh…”

“Hey, emang Tante tau kalau anak tunggalnya yang satu ini udah bikin deklarasi soal nggak kepingin kawin?”

Gue menggeleng. “Gila aja, lo, Lan. Gue nggak mau bikin nyokap gue jantungan karena tau kalau anak satu-satunya ini nggak mau kawin selamanya…”

“Nah, jalan satu-satunya cuman kawin, kan, Re?” goda Lana dengan centilnya yang sangat khas. Perempuan sinting itu sudah cengar-cengir dengan liciknya lalu memandang gue dalam-dalam. “Gue tahu elo emang nggak bakal nikah sampai elo nemuin alesan untuk itu. Tapi, Re… for once, elo juga musti inget kalau elo adalah anak tunggal yang mau nggak mau adalah satu-satunya penerus keturunan nyokap sama bokap elo…”

Gue masih diem.

“Manusia boleh egois, pastinya. Tapi, sampai mana keegoisan itu ngebunuh naluri kasih sayangnya buat orang lain? There, Beib… Lo pikirin itu aja…”

Sumpah, deh. Saat ini juga, gue pingin kabur ke Hong Kong dan nggak kepingin pulang-pulang lagi…. Ever

0 comments:

 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates

design by Grumpy Cow Graphics