Monday, June 1, 2009

(1) Berawal Dari Sini...

Suara hak tinggi yang beradu dengan lantai kayu segera membuat empat orang perempuan yang tengah duduk santai sambil menikmati bergelas-gelas kopi mereka, langsung menoleh ke arah tangga. Mereka tahu persis kalau Lana, pecinta stiletto dan pemuja fashion sejati itu telah datang ke tempat janjian mereka, Element Café yang terletak di lantai dua. Persis di atas sebuah toko roti kue yang terkenal di belahan kota Surabaya.

She’s always thirty minutes late. Dengan wajah grumpy mirip nenek-nenek yang bete karena musti tinggal di panti jompo sementara anak-anaknya asyik dengan kehidupan mereka masing-masing.

Tubuhnya yang bongsor, dengan sedikit kelebihan lemak yang salah tempat (oh my, she always dreams to have two big boobs and delicious but, bukan gelambiran lemak di perut!), diempaskannya di atas sofa single yang memang sudah disiapkan oleh Alin, Rea, Cathy, dan June, sejak setengah jam yang lalu.

“Lo kenapa?” Rea membuka percakapan. Si mungil dengan toket super besar (oh God bless you, Dear!) itu langsung menyodorkan buku menu. “Pesan dulu, gih. Ceritanya ntar aja.”

Alih-alih mulai membaca buku menu, Lana malah mengaduk-aduk tas laptopnya, mencari sesuatu di sana dengan gemas.

“Lo nyari apaan sih, Lan? Remote control buat aktivasi suara elo, gitu?” Rea menyeruput kopinya sampai separuh.

Alin menoleh ke arah Rea, memberi kode supaya mulut siletnya itu berhenti ngomel sebentar. Heran, deh. Sejak kapan Rea melupakan adat Lana kalau lagi males bicara artinya dia sama sekali nggak butuh sentilan seperti yang barusan Rea lakukan. Untuk sebelas tahun persahabatan mereka, sepertinya Rea harus melakukan fit and proper test sekali lagi.

Kalau Alin menoleh dan memberikan pandangan plis-deh-Re, lain dengan June dan Cathy yang langsung mencubit pinggangnya. Lengkaplah sudah penderitaan Rea sehingga gadis itu memilih untuk diam dan menunggu Lana yang kini masih sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas laptopnya.

“Gue pesenin elo butterscotch coffee, ya, Lan…” kata June sambil memanggil seorang pelayan. Butterscotch coffee adalah minuman yang selalu menjadi favorit Lana kalau mereka sedang berkencan di café ini.

Ok,” sahut Lana pendek. “Or anything with liquor, please?”

June berhenti melambaikan tangannya lalu memegang tangan Lana. “Ulang kata-kata elo, Lan,” pintanya.

ANYTHING. WITH. LIQUOR. PLEASE.

Kini Cathy yang mendelik. “Sejak kapan lu tega naruh alkohol di minuman elo? Oopss, sorry. Ralat. Maksud gue, sejak kapan elu tega NGERACUNIN tubuh elu dengan alkohol, Lana? Apa jangan-jangan elo balik ngerokok lagi?” Cathy mengendus-endus, seolah anjing yang ingin membongkar sebuah rahasia.

I just had one pack. No big deal,” sahut Lana dengan wajah gugup. Dia berhenti mengaduk tasnya dan memandang keempat sahabatnya. “Marlboro. Light. One single pack.

“Sejak kapan?” Tanya Alin dengan mata khawatir. Sebelas tahun persahabatan mereka membuatnya cukup mengetahui persis bagaimana karakter Lana ketika sedang down, broken heart, and messed up. Lana bukan perempuan yang bisa menyelesaikan masalah. She cannot deal her problems, instead, she runs from it.

“Sejak that bastard ruins my life again…”

That Bastard, eh? Sakti, maksud lo?” Alin menyebutkan satu nama lelaki yang pernah hadir dalam kehidupan Lana, yang datang dan pergi seolah tukang roti keliling kompleks. The one who promised her the whole world but in a second, he took everything away. Masih mirip dengan tukang roti yang rotinya sudah habis dibagi-bagi dengan seluruh penghuni kompleks perumahan yang lain.

“Siapa lagi kalau bukan Sakti,” kata Lana dengan sebal. “Tentu saja selalu Sakti; si bebal gila yang katanya cinta ama gue tapi akhirnya mutusin gue demi cewek-cewek sialan itu.”

“Dan begonya elu yang selalu nerima dia setiap Sakti minta balikan,”  tukas Rea dengan tenang. Alin, June, dan Cathy menatapnya seolah Rea telah melakukan sesuatu yang amat sangat berdosa. Tapi bagi Rea, Lana terlalu drama queen untuk masalah yang satu ini. She’s just too damn clever to be this dumb. Enough said, untuk masalah Sakti, Rea nggak mau Lana menjadi the most bego woman of the year, juara bertahan sejak dua tahun yang lalu.

Lana menatap Rea. “Jadi lu bilang gue bego, gitu?”

“Iya. Elu bego,” kata Rea santai. “Kenapa? Elu merasa terhina karena gue ngatain elu bego? Gimana kalau gue bilang elu itu tolol, gebleg, super bodoh, dan goblog kuadrat? Lu mau marah sama gue?”

Lana terdiam. Dia kehilangan semua kata-katanya. Terlebih ketika Rea bilang, “Sakti bukan lelaki yang baik buat elu, Lana. Dia adalah lelaki paling jenius yang sudah berhasil bikin satu formula untuk membuat sahabat gue yang pinter ini menjadi perempuan paling bego sepanjang sejarah. Sakti tuh Ilmuwan kampungan yang berhasil menciptakan obat-obatan paling keren sehingga sahabat gue bisa lupa dengan setiap sakit hati yang dia bikin dan membuatnya mau menerima dia setiap saat dia pingin balik. Iya. Sakti udah bikin elu bego dan gue nggak suka itu, Lana… Cuman itu maksud gue.”

“Re… please…” kata June menengahi. “Kenapa kita jadi angot begini, sih? Kalian lupa, ya? Sekarang ulang tahun gue… Bisa nggak sih, kita nggak usah bikin drama di café ini? I still wanna go to this café, you know….

Cathy tersenyum. “June bener, Girls. Rea, you’re a great friend, and you aware of that, Hunny. Tapi Lana sedang tidak ingin dihakimi malam ini… ya, kan, Lan?”

Semua serempak menoleh ke arah Lana. Memerhatikan perempuan cantik itu sedang bermain-main dengan cincin yang ada di jemari kirinya. Bermain-main dengan gelisah.

“Lana, sorry for ruining the mood,” kata Rea. Dia menyuruh Alin untuk berpindah duduk. Kini Rea duduk di sofa single, persis di sebelah Lana. “Tadi elu sibuk nyari apa? Dan kenapa elu dateng terlambat?”

“Dan kenapa wajah elu bete gitu, hm?” Alin ikut-ikutan nanya.

Lana menghela nafasnya. Seperti mencari kekuatan di sana dengan menghela nafas banyak-banyak.

“Rea,” katanya. “Gue tahu, elu sayang banget sama gue, sampai-sampai elu benci banget sama Sakti. Gue tahu, Sakti bukan your favorite. Gue sadar banget kalau selama ini gue selalu dateng ke kost-an elu cuman buat nangisin Sakti yang begini begitu…”

Lana memandangi mereka satu persatu dengan kedua bola matanya yang kini berair.

“Tapi…”

Oh no! I hate this sound… Rea menggenggam jemari sahabatnya dengan erat. “Tapi apa, Lana?”

Lana mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan memperlihatkan kepada sahabat-sahabatnya yang berhasil membuat keempat manusia terdekatnya itu menjadi terkaget-kaget dan tak bisa bicara apa-apa.

“He gave me this…”

Sebuah kotak warna hitam, yang melindungi satu buah cincin emas putih, bermata satu berlian yang cukup menyilaukan mata. Kotak itu kini diletakkannya di tengah-tengah meja, seolah menyedot seluruh kesadaran setiap orang yang memandangnya. It’s a beautiful diamond ring. Perfect cut. Sinaran lampu membuat berlian itu seolah mengeluarkan cahayanya sendiri. Every Cinderella would die to have that diamond ring in their fingers.

And…?

Lana memasukkan kotak berisi cincin itu ke dalam tasnya. Mengeluarkan sebatang rokok dari dalam tasnya lalu membakar ujungnya dengan lighter dari dalam saku blazernya. Mengisapnya perlahan sampai ujungnya terbakar sempurna lalu mengepulkan asapnya dengan gelisah.

And…?” Rea mengulang pertanyaannya, sekali lagi. She doesn’t care about the smoke things. She doesn’t care about that… at all. Yang terpenting adalah bagaimana nasib cincin cantik dari Sakti gebleg itu. Bagaimana nasib cincin itu? What did her best friend say?

“Lana?”

I said…

“…”

I’ll think about it.

“LANNNAAAA!!!”

0 comments:

 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates

design by Grumpy Cow Graphics