Sunday, June 21, 2009

(7) Ring a Ding Ding!

What’s so special about Sakti anyway, Lan?”

Pertanyaan itu yang terus-menerus terngiang di dalam pikiran Lana ketika mengemudi Honda Jazz hitamnya menyusuri jalanan Surabaya yang gemerlap dengan hiasan lampu warna-warni di pinggir jalan. Menyesaki pikirannya yang sudah terlalu sesak, persisnya sejak Sakti menyodorkan kotak berlapis beludru warna hitam dengan cincin bermata berlian yang sangat sempurna, beberapa hari yang lalu.

Lana tak bisa menyalahkan kenapa pertanyaan itu sampai terloncat keluar dari mulut sahabat-sahabatnya. Memangnya apa yang dimiliki Sakti sehingga Lana harus mengatakan, “I’ll think about it,” padahal jelas-jelas kini sudah ada Ramon, lelaki yang menurut Rea adalah lelaki paling normal di antara lelaki-lelaki yang pernah datang dan pergi dalam hidup Lana. Definisi normal menurut Rea adalah always stay in best or worst, bukan pria beristri, bukan pacar perempuan lain, atau tipe-tipe penebar benih seperti Sakti. Ramon adalah the best of all the guys yang pernah dekat di hati Lana. Cuman Ramon yang sangat sempurna untuk menjadi suaminya…

Ah Ramon! I wasn’t even thinking about him while I was sleeping with Sakti! Lana mengaduh dalam hati. Dia merasa seperti perempuan yang bebal dan tidak tahu bersyukur karena hidup telah memperkenalkannya pada Ramon; ahli komputer yang dengan keahliannya itu telah membawanya berkeliling dunia (dan berjanji akan mengajak Lana berkeliling dunia bersamanya setelah menikah).

Menikah?

Entah kenapa, Lana mendadak berubah menjadi seperti Rea setiap saat mendengar kata itu keluar dari mulut Ramon saat mereka sedang bercengkerama di depan televisi sambil mengunyah keripik kentang favorit mereka berdua. Ya, menikah. Sebuah kata yang entah kenapa malah terasa menggelikan setiap kali Ramon mengucapkannya dengan nada sungguh-sungguh.

“Tahun depan, aku sudah harus menetap di Amerika, Sayang,” kata Ramon, beberapa minggu yang lalu, tepat sebelum ia bertolak ke Belgia. Tentu karena urusan pekerjaan.

“Amerika? Amerika-nya Obama?”

Dalam hati, Lana tertawa sendiri. Memangnya ada berapa biji Amerika di dalam isi kepalamu, Lana? Amerika blok B atau Amerika gang buntu, barangkali?

“Iya, Sayang. Amerika-nya Pak Obama,” kata Ramon sambil mengusap sayang belakang kepala Lana lalu mengecupnya perlahan. “Mulai tahun depan, aku akan ditarik ke kantor pusat di Amerika…”

“Wow!” kata Lana. “This is a great news, Baby…” Lana mencium bibirnya. “Selamat, ya…”

Ramon menatap wajah Lana dengan lembut. “Karena itulah, Sayang, we have to get married within this year.

Married?

Lana memandangnya. “Kenapa?”

Baby, because I have to stay there, forever.

Sebetulnya Ramon tak perlu menjelaskan soal itu. Lana cukup cerdas untuk menghubungkan kalimat-kalimat tadi dan sebetulnya memang tidak butuh scientist untuk mengetahui arti kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Ramon.

Ya. Lelaki itu akan pindah ke Amerika. Menetap di sana. Sampai batas waktu yang belum ia ketahui. Not to mention, usianya sudah tiga puluh tujuh tahun. Lelaki matang dengan pekerjaan sempurna. Sekarang, siapa yang butuh ilmuwan untuk mengetahui kemana arah pembicaraan itu?

She’s clever enough to know, tapi Lana memilih untuk bodoh setiap kali Ramon mengungkapkan keinginannya itu!

“Kapan aku bisa ketemu sama Mami Papi, Sayang?”

“Hah? Mau ngapain?”

“Mau melamar kamu, dong…”

“Oh…”

“Kamu tentuin waktunya, ya? Setelah aku pulang dari Belgia, tiga bulan lagi…”

Saat itu, Lana hanya terbengong-bengong dengan kalimat yang meluncur dengan ringannya dari mulut Ramon; kekasihnya enam bulan belakangan ini. Lana tahu, dari awal, Ramon sudah mengatakan kalau ia sedang mencari calon istri, bukan lagi mencari pacar untuk bersenang-senang layaknya ABG. Usianya sudah tidak muda lagi dan pengalaman berpacarannya sudah lebih dari cukup sehingga dia tidak ingin memperbanyak koleksi pengalamannya itu. Lana menyanggupi keinginan Ramon karena ia tahu, lelaki yang dikenalnya di pesawat terbang saat pulang dari business trip ke Singapura bukanlah lelaki yang asal ngomong. Lagipula, Lana juga sedang tidak mencari seorang pacar. Usianya sudah menjelang tiga puluh dan Mami sudah mulai nyap-nyap seperti petasan banting. Ramon adalah lelaki yang tepat untuk menjadi pasangannya. So she said yes.

Nah, lantas kenapa semuanya terasa menggelikan ketika ia mendengar kalimat ajakan menikah itu dari mulut Ramon kalau dari awal Lana sudah mengetahui kemana arah hubungan ini akan menggelinding?

Trrttt….trrrttt…

Tiba di lampu merah, ponsel Lana berdering. Kembali dia mengaduk-aduk isi tas sampai bego, seperti saat ia mencari kotak berisi cincin tadi. Beberapa detik kemudian dia berhasil menemukan ponsel itu dan melihat tulisan Unknown Caller. Hm. Lana menghela nafas.

“Halooo…”

“Sayang, good evening…”

“Hai, hai. Selamat malam juga, Sayang. Baru pulang kantor?”

Perbedaan waktu di antara kami adalah enam jam lebih. Kalau sekarang sudah jam sebelas malam, berarti di belahan bumi Eropa sana masih pukul lima sore.

“Ini sedang jalan ke lift. Hari ini nggak terlalu rush seperti yang sudah-sudah, sehingga aku bisa on time…”

“Ow… Seneng dong, kamu, bisa istirahat di hotel?”

I’m afraid not, Sayang. Tadi Steve sama Robert, temen-temenku, ngajak makan malam. Jam tujuh nanti mereka mau nyusul aku di hotel.”

“Hmm… poor, my Baby… Padahal enakan istirahat, ya, Sayang, daripada jalan mulu…”

“Ada yang lebih enak, sih.”

“Oh, ya? Apa?”

Come home and meet you…

Mendadak Lana merasa tercekat. Apalagi setelah itu, Ramon melanjutkan kalimatnya dengan kata-kata yang sangat manis dan seharusnya bisa membuat hati seorang perempuan meleleh.

I can’t wait to spend the rest of my life with you, Kelana Lesmana Dewi. I can’t wait to be with you… to make you the first person I see every time I wake up and the last person I touch before I close my eyes…

Kalimat-kalimat itu terdengar begitu tulus di telinga Lana. Membuat hati perempuan itu segera diselimuti perasaan bersalah; sangat bersalah! Bagaimana tidak bersalah, kalau beberapa malam yang lalu, tubuhnya berlekatan sempurna dengan tubuh lelaki lain? Lelaki yang beberapa jam sebelumnya telah menyodorkan cincin bermata berlian yang kilaunya menyilaukan mata siapapun yang memandangnya!

Baby, I love you…” kata Ramon.

“Aku juga, Sayang. Aku juga…” Hampir saja kalimat-kalimat itu tercekat di tenggorokannya!

Nice to hear that, Sayang. Aku nggak sabar untuk pulang dan melamar kamu…”

Seketika itu juga, ingatan Lana teringat dengan cincin pemberian Sakti sekaligus dengan kalimat-kalimat manisnya beberapa hari yang lalu; kalimat-kalimat dahsyat yang membuat Lana mengucapkan “I’ll think about it” padahal dia telah memiliki calon suami yang sungguh sempurna seperti Ramon.

Entah kenapa, tidak terbayang wajah Ramon sama sekali ketika Sakti melamarnya. Dan entah kenapa, ketika kekasihnya menginginkan Lana menjadi istrinya, wajah Sakti segera terbayang di dalam isi kepalanya. Tanpa henti! Padahal… OH GOD! Seharusnya malah wajah Ramon yang terbayang saat itu, bukan Sakti!

Lana merasa pening seketika.

Di dalam hatinya, dia sempat berharap kalau mobil Honda Jazz hitam kesayangan ini memiliki fungsi-fungsi ajaibnya Kitt, mobil di film Knight Rider yang bisa bergerak otomatis mengantarnya pulang… safe and sound. Ya, sekaligus membantunya mem-brainwash otaknya sendiri yang sudah dikotori dengan wajah Sakti dan cincin sialannya!

Monday, June 1, 2009

(6) I'm an Old Maid, eh? : Rianti Elsayana Abimanyu

Bandara Juanda sudah terlihat di depan mata. Gue terbangun dan merasa punggung lumayan pegal-pegal karena perjalanan empat jam di dalam pesawat yang telah mengantarkan gue kembali pulang ke Surabaya. Sebetulnya, empat jam bukan waktu yang terlalu panjang karena sebelum perjalanan ini, gue udah terbiasa untuk pulang-pergi Hongkong-Surabaya-Hongkong untuk urusan kerjaan. Biasanya, energi gue malah semakin kenceng-kencengnya setelah kaki gue menginjakkan aspal bandara dan hidung gue mencium udara Surabaya yang kering. Mungkin juga karena gue bersemangat; home coming, berkumpul dengan keluarga, sahabat, dan Kemal… those were the highlights of every trip to Surabaya office.

Biasanya gue selalu excited dan melupakan kelelahan gue.

Biasanya gue seneng banget mengepak barang-barang dan bersiul-siul sepanjang perjalanan menuju bandara sampai Mey, rekan kerja gue di Hong Kong sana bilang, “Seneng banget, sih? Sampai siulan mulu!”

Karena biasanya gue ‘that’ excited!

Tapi…

“Kembali ke dunia nyata, ya, Re?” Tanya Mey saat kami mengunjungi pameran bunga-bunga cantik, beberapa bulan yang lalu. Saat itu, Boss sudah merelakan gue untuk kembali pulang ke Indonesia dan bekerja di kantor cabang Surabaya saja. I have my own specific reasons (yang kemudian gue pertanyakan lagi; time after time!).

“Jadi sekarang gue lagi di neraka, ya, Mey? Kok gue ngeliat kucing bertanduk iblis kayak elu?” kata gue sambil ngikik geli dengan candaan gue sendiri. Kebiasaan nggak penting.

Mey cuman nyengir-nyengir lalu dengan cueknya bilang, “Cuman orang sinting dan make kacamata minus sebelas aja yang ngatain gue kayak kucing iblis…”

“Hahaha…”

“Udaaahh… Jangan cekakan. Gue nanya beneran, Rea Gebleg, gue tadi nanyanya serius. Back to the real world, eh?”

Gue diem. Pura-pura tuli dan asyik memotret bunga-bunga tulip yang sumpah mati gue sangka dari plastik!

“Idih! Nyebelin ah! Gue dianggurin gituuuu…” omel Mey sambil membetulkan letak syalnya dan melangkah pergi menuju ke tempat lain sambil menenteng handycam. Gue tetap asyik menyibukkan diri dengan mengambil foto-foto tulip sebanyak-banyaknya meskipun gue tahu, usaha gue itu sia-sia.

Di dalam isi kepala gue saat itu adalah how to answer that question.

‘Back to the real world’ alias kembali ke dalam kehidupan nyata.

Emangnya, mana yang nyata, mana yang mimpi.

Gue kembali ke tengah-tengah keluarga, gue bisa cekakak-cekikik dengan Lana, Alin, Cathy, dan June, gue bisa ketemu sama Kemal….

Atau…

Gue menemukan kepingan diri gue di kota ini; piece by piece. Mengkoleksinya dalam sebuah puzzle yang entah kapan bakal utuh, tapi gue tahu, kepingan itu nggak bakal gue temuin di Surabaya? I’ve spent my 26 years in Surabaya, tapi tak satupun kepingan itu gue temukan di sana. Sedangkan baru dua tahun gue di sini, I found my pieces… day by day….

Lantas mana yang nyata?

Mana yang mimpi?

Gue kangen orang-orang tercinta yang kini sebentar lagi akan berbagi nafas dengan gue?

Atau udara sebuah kota yang memompa semangat gue untuk mencari kepingan gue yang hilang?

But however, pesawat Cathay Pasific ini telah mendarat dengan selamat dan gue musti bergegas turun. Masih harus mengantri koper-koper di baggages claim. Masih harus menyodorkan passport di exit door. Masih harus celingukan mencari Kemal. Dan ya, masih harus meluangkan waktu untuk lelaki yang sudah enam bulan ini menjadi pacar gue.

Still so many things to do, so I have to move my fat ass and just get it over with…

*

You’re here already, eh, Beib?” Tanya Lana di telepon. Gue sedang unpack koper gue yang segedhe-gedhe gajah, yang gue biarkan memenuhi seluruh lantai di kamar.

Yes, I am…” kata gue sambil mencari tiga keping DVD yang gue janjikan ke Lana sesaat sebelum gue pulang. “By the way, film-film pesenan lo ada semua, lho, Lan….”

Whaaaattttsss??? Termasuk When Harry Met Sally?????”

“Iya, termasuk itu.”

Bring it to me!”

“Edan! Lo yang ke sini, dong, Lana. Gila lo, ya, masa gue yang ke sana, siiiihh…”

“Hehehe… kalo gitu besok aja, deh… Lo tau kan, jarak apartemen gue ke rumah elo tuh jaraknya sebelas dua belas sama lomba triathlon gitu, kan?”

“Hidih! Hiperbolis…”

“Hey, Hun… Isn’t that middle name?” Lana cekikikan di ujung telepon.

“Lo nggak berubah; tetep nyebelin.”

“Gue berubah, dong. Makin cakep aja dengan pertambahan usia. Elo gimana?”

“Sinting!”

“Haha… Let’s grab dinner tomorrow nite, Re. Lo masih belum harus masuk kerja, kan?”

“Masih minggu depan, kok.”

“Kalau gitu, besok gue tungguin di our hotspot, ya? Jam tujuh gitu. Ntar lo nginep di apartemen gue, gimana?”

“Edan. Gue baru ketemuan sama bokap-nyokap, eh, udah elo culik gini…”

“Halah, cuman semalem ini. They’ll have you every day setelah ini, kan? Ditinggal nginep semalem di tempat gue nggak akan bikin mereka sekangen itu ama elo, lah… Kan elo bakal tiap hari ketemuan bokap-nyokap elo…”

“Sialan…”

“Oh ya, tapi kecuali lo udah mo kawin sama Kemal, sih, Re… Laen ceritanya kalau gitu. Soalnya lo bakal diculik Kemal, sampai selamanya. Jadi gue musti ngasih waktu buat lo sama bonyok elo kangen-kangenan!”

“Iiihhh…. Kawin? KAWIN? Kata apaan tuh, Lan?”

“Hahaha…. Glad to have you back, Rea… You sure didn’t change…

*

Ya.

Kawin.

Kata apaan, tuh?

Kenapa belakangan selalu menjadi kata favorit nyokap gue setiap saat kami sarapan berdua di ruang makan?

Kalau bukan cerita soal anak tetangga depan rumah yang kawin setelah lulus kuliah, Nyokap mulai bawel menceritakan soal adiknya yang kini sudah menimang cucu. Iya, cucu yang ketiga! Gue tahu kemana arah pembicaraan nggak penting setiap sarapan itu. Ya, gue bilang nggak penting karena apa urusannya sama gue, coba? Anak tetangga depan itu toh bukan anak gue, bukan sahabat gue, bukan pula gue yang bayarin pesta resepsinya; lah ini kenapa gue malah harus terintimidasi karena kebawelan nyokap gue?

Gue takut, setelah ini, Nyokap bakal cerita soal kucing yang hobi kawin setiap malam di pojokan jalan! Kalau Nyokap sampai tega ngebandingin gue sama kucing garong yang doyan kawin itu, sumpah, gue bakal minta bukti ke Nyokap bahwa gue benar-benar anaknya! J

“Usiamu sudah dua sembilan, kan, Ri…”

Bagus. Berarti Nyokap inget betul sudah setua apa anak tunggalnya ini.

“Sepupumu, si Tita, malah sudah punya anak dua…”

Dia, sih, memang selalu bercita-cita punya anak sebanyak-banyaknya, Mam! Lain sama akyuuu!

“Inget, Ri. Perempuan itu, kalau sudah umur 35 ke atas, pasti lebih susah buat punya anak…”

Hu-uh. Emang siapa yang kepingin punya anak, sih, Maaaammmm??

“Lagipula, apa, sih, yang kamu tunggu? Usia sudah cukup, pekerjaanmu bagus, dan sudah punya pacar, pula.”

Okay, Mam. I’m listening.

“Memangnya kamu mau jadi perawan tua dan bikin Mamam mati penasaran????”

MASYA ALLAH, Mamaaammm…

*

“Gue nggak ngerti, deh, Lan, sama jalan pikiran nyokap gue,” curhat gue ketika bertemu dengan Lana, di kafe Grazia, tempat kami biasa nongkrong setiap jalan ke Tunjungan Plaza. “Rasanya, nih, ya, kalau nyokap ngeliat wujud gue… beugh, yang diomongin, tuh soal kawiiiinnnnn melulu! Sebel banget gue!” Gue menyeruput kopi di gelas tinggi yang gue pesan beberapa saat yang lalu sampai tandas.

Lana cuman cekikikan melihat gue. Katanya, “Heh, biar kata elo lagi emosi jiwa, nih, tetep aja nggak usah nyedot minuman orang lain, dong…”

Hayah! Gue baru sadar kalau tadi gue ngabisin minuman sahabat gue! Haha.

“Sori, Beib. Gue emang lagi emosi jiwa, euy.”

“Iya, gue ngerti, Re. Ngerti banget.”

“Apa lagi lo kan tau persis gimana anti-nya gue sama kata-kata ‘kawin’, ‘nikah’, dan sejenisnya itu?”

“Iya.”

“Nah, ini Nyokap masih pake acara nekat segala ngomongin soal kawin-kawinan di depan muka gue! Duh…”

“Hey, emang Tante tau kalau anak tunggalnya yang satu ini udah bikin deklarasi soal nggak kepingin kawin?”

Gue menggeleng. “Gila aja, lo, Lan. Gue nggak mau bikin nyokap gue jantungan karena tau kalau anak satu-satunya ini nggak mau kawin selamanya…”

“Nah, jalan satu-satunya cuman kawin, kan, Re?” goda Lana dengan centilnya yang sangat khas. Perempuan sinting itu sudah cengar-cengir dengan liciknya lalu memandang gue dalam-dalam. “Gue tahu elo emang nggak bakal nikah sampai elo nemuin alesan untuk itu. Tapi, Re… for once, elo juga musti inget kalau elo adalah anak tunggal yang mau nggak mau adalah satu-satunya penerus keturunan nyokap sama bokap elo…”

Gue masih diem.

“Manusia boleh egois, pastinya. Tapi, sampai mana keegoisan itu ngebunuh naluri kasih sayangnya buat orang lain? There, Beib… Lo pikirin itu aja…”

Sumpah, deh. Saat ini juga, gue pingin kabur ke Hong Kong dan nggak kepingin pulang-pulang lagi…. Ever

(5) The Perfectionist Miss June : Junita Christina

Aku ingin secangkir teh.

Dengan gula sedikit.

Lalu menikmatinya dengan tenang sambil mengamati senja berganti warna.

 

Aku ingin sepotong cheese cake.

Dengan strawberry segar di atasnya.

Lalu menyuapkannya sedikit demi sedikit ke mulut sambil menikmati angin berbisik di teras rumah.

 

Aku cuman ingin menikmati waktuku; kenapa perempuan jelek ini malah memaksaku untuk terus menerus terjaga dan tidak rela kalau aku melakukan kekacauan? Kalau aku ingin bervariasi sedikit saja? Kalau aku ingin sekali-kali mengambil sebuah langkah yang extraordinary lalu menikmati kesalahan yang mungkin aku lakukan?

I want to be myself and make my mistakes, like other people do.

Kenapa aku musti jadi Junita Christina yang terlalu perfeksionis?

Perempuan yang menyebalkan!

*

“Belum pulang, Mbak?”

Sebuah kepala menyembul dari balik pintu dan sedikit mengagetkanku yang tengah sibuk di depan laptop. Aku sedang memberesi data-data keuangan yang belum kelar juga padahal sudah pukul setengah delapan malam.

Aku melihat wajah Nino, lelaki umur dua puluh dua yang baru bergabung di kantor ini sejak empat bulan yang lalu dan menjadi anak buahku di departemen keuangan. Anak orang kaya yang tidak peduli dengan gaji yang rendah itu kini tersenyum, cengar-cengir seperti anak kecil yang polos. It’s always nice to see his smile, seperti pengendara unta yang kehausan di gurun sahara lalu menemukan oase.

“Masuk, No,” pintaku setelah membalas senyum manisnya. “Kamu sendiri belum pulang?”

Sebagai kepala bagiannya, aku tahu persis kalau Nino sedang tidak terburu deadline atau apa, karena aku yang mendelegasikan pekerjaan apapun buat dia, Rita, Imam, dan Hendra, staff Keuangan di kantor ini. He must be doing the same thing. Dan itu membuatku tersenyum lagi.

“Sudah makan?” tanyanya.

Sudah makan? Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menyuapkan sesuatu di mulutku. Sepertinya tadi pagi aku sudah melewatkan sarapan dan hanya menyeruput dua gelas kopi susu sambil memeriksa beberapa laporan keuangan yang bikin syarafku kebelit-kebelit. Siang tadi? Hm, cuman sepotong black forest pemberian Henny, sekretaris Boss yang hari ini ulang tahun.

Intinya:

AKU BELUM MAKAN!

Aku menggeleng sambil berkata, “Sepotong black forest dari Henny sudah bisa dikategorikan ‘udah makan’ belum ya, No?”

Nino mendelik. “Cuman sepotong kue tar, Mbak? Itu bukan makan namanya. Itu ngemil! NGEMIL!” Nino menggeleng-gelengkan kepalanya dan memandangku seperti tak percaya. “Kerja sih kerja, tapi nggak usah pake acara self torturing gini, dong,” katanya sambil meraih telepon yang ada di sudut mejaku.

“Hey, mo nelepon siapa, No?”

“Mau telepon Mie Hongkong yang bisa terima delivery order,” katanya cepat.

“Eh, eh, tunggu…”

“Kenapa? Mbak pingin beresin kerjaan sekarang juga dan ikut aku makan di sana aja, hm?”

Aku nggak tahu apakah Nino punya ilmu pelet, santet, atau hipnotis seperti Rommy Rafael, tapi yang pasti, kedua pandangan matanya seolah menyihirku untuk bekerja sesuai perintahnya. Sepuluh menit berikutnya aku sudah berada di sebelah Nino, di dalam mobil Toyota Fortuner hitamnya yang membelah jalanan Surabaya yang basah karena hujan yang sempat turun sore tadi.

Hembusan air dingin yang keluar dari air conditioner membelai lembut permukaan kulitku yang kian meremang hanya karena baru saja Nino tak sengaja menyentuh lenganku ketika mencari-cari sesuatu di laci dasbor mobilnya.

God… you’re not making it any easier…

*

Empat bulan yang lalu, Boss cuman bilang, “Junita, saya baru saja merekrut satu staff lagi untuk membantu kamu. Saya lihat kerjaan kalian sudah terlampau overload.”

Rita, Imam, dan Hendra memang sudah mulai mengeluh karena beban pekerjaan yang meningkat sejak Indira mengundurkan diri setelah menikah, dua bulan yang lalu. Aku, sih, sebetulnya bisa menghandle semua ini sendiri. I could work my ass off sampai malam sekalipun. Aku sudah terbiasa untuk kerja sendiri, tapi rupanya tidak dengan ketiga anak buahku yang akhirnya berteriak meminta si Boss untuk mencari pengganti Indira.

Okay, Pak. Kapan dia bisa bergabung dengan kita?”

“Nino akan bergabung mulai tanggal satu nanti, June. Artinya, tiga hari lagi.”

Aku menganggukkan kepala. If only I could say, “Oh, don’t bother, Boss, aku baik-baik aja dengan kerjaan yang menumpuk, kok. Santai saja, nggak usah repot-repot merekrut karyawan baru yang cuman akan menambah-nambah kerjaanku aja.”

Tapi, aku nggak akan pernah bisa bilang begitu pada Pak Yudhistira, kan? Bagaimanapun, I work my ass off… in his office. Jadi, apapun yang keluar dari mulutnya adalah titah yang tak boleh terbantah.

How happy!

Empat bulan yang lalu, aku sebal setengah mati dengan Nino, apalagi setelah tahu kalau ternyata lelaki lulusan Universitas luar negeri itu adalah anak pengusaha yang omsetnya trilyunan tiap tahun. Aku sebal karena setahuku, anak-anak seumuran dia, dari latar belakang orang kaya seperti dia, Nino akan menganggap pekerjaan ini sebagai main-main. Aku sudah kapok dengan Sasya, anak pejabat yang menganggap kantor kami sebagai lembaga training dan bukannya tempat orang-orang butuh duit setiap bulannya dan bergantung di sini untuk mendapatkan gaji.  Aku nggak suka dengan karyawan baru dengan latar belakang seperti Nino; bisa nggak sih, dia membangun perusahaan sendiri yang bebas ia acak-acak seenak udelnya? Nggak usah melibatkan siapapun, deh, especially me.

Give yourself a break, June,” kata Rea, empat bulan yang lalu.

“Gimana kalau semuanya malah tambah kacau, Re?”

“Gimana elo bisa tahu, Sayang? If you never allow him to make an effort, you will never know.”

Aku menuruti Rea. Aku mencoba untuk berbaik-baik dengan Nino dan mendelegasikan beberapa pekerjaan ringan untuknya; jenis-jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan sarjana lulusan universitas luar negeri seperti dia.

Satu bulan berikutnya, Nino sudah berani masuk ke ruanganku sambil berkata, “Saya bisa melakukan yang lebih baik dari sekedar filing dan jadi kurir.”

Dua bulan berikutnya, Nino sudah berani masuk ke ruanganku sambil berkata, “Gimana kalau kita ubah sistemnya menjadi cara saya tadi? Bukankah dengan memotong jalan, kita nggak perlu ribet-ribet sampai pulang larut? Semua bakal senang.”

Tiga bulan berikutnya, Nino masuk ke ruanganku lagi sambil berkata, “Tahu nggak, sih, kalau jam kerja cuman sampai jam lima sore?”

Dua minggu setelahnya, dia berani bilang, “Thanks for kissing me back…”

Karena aku membiarkan Nino mencium bibirku usai kami bertengkar di dalam lift!

*

“Jadi lo pacaran sama anak bawang itu, June?” Alin, Drama Queen kami, membelalakkan matanya.

“Hus! Siapa bilang kami pacaran, Alin Kanisha!”

“… Gunawan. Lo lupa sebutin satu lagi,” kata Lana sambil ketawa ketiwi.

Ck-ck-ck. Memang menyebalkan kalau duo Ratu Hollywood ini sedang kompak-kompaknya seperti ini. Rea! Come rescue me, please… Itu anak kemana aja sih, kok belum dateng-dateng juga… Jangan-jangan lagi pacaran sama Kemal. Biar anti-romance, tapi itu anak nafsu juga sama lelaki. Jenis manusia yang mengherankan.

“Iye, iye. Alin Kanisha Gunawan, gue nggak pacaran sama Nino,” kataku.

“Tapi kok udah ciuman?”

“Emang kalau udah ciuman, artinya udah officially commited gitu?” Lana nyeletuk.

“Paling tidak, itu versi gua, Lana,” kata Alin sambil menoleh dengan sewot ke arah sahabatku yang satunya. “Entah ya, definisi elo seperti apa, yang pasti… buat gua, ciuman musti pakai perasaan!”

“Kalau perasaan nafsu, gimana? Pake perasaan juga, kan, Lin?” Tanya Lana lagi.

“Ih! Kelana Lesmana…”

“…Dewi. Dewi. Kelana Lesmana Dewi,” potongku. “Jangan lupa yang terakhir…” Aku terkekeh.

“Iye, Junita Christina. Gua nggak bakal lupa sama nama anak bawel ini!”

Aku dan Lana tertawa melihat tingkah Alin yang mirip bayi ngamuk karena isi dot susunya habis padahal dia masih kelaparan.

“Udah, ah. Kalian ini bisanya berantem doang,” kataku. “Gini ya, Alin, gue nggak pacaran sama Nino. Terserah elu punya definisi seperti apa soal ciuman itu, tapi…. Tapiiiiii…. Gue sama Nino emang nggak pacaran. It was just an accidental kiss, Darlene..

“Bener cuman accidental kiss?” Tanya Lana sambil kedip-kedip keganjenan.

“Kenapa emangnya?” tanyaku. Curiga!

“Yakin, nggak ada yang kedua, ketiga, keempat….”

Ups!

Rupanya reaksiku yang barusan segera memancing Alin untuk menghujaniku dengan kata-katanya yang bawel.

Accidental kiss, gundulmu! Itu doyan, Gebleg! Bukan nggak sengaja….!”

Kami tertawa.

Di dalam hati, aku hanya berujar, “Siapa suruh ciuman Nino bisa seenak itu? Rugi kalau nggak ciuman sama dia!

Dan tentunya, kalimat-kalimat najong itu hanya bermain-main di dalam kepalaku…

*

Toyota Fortuner hitamnya sudah terparkir sempurna di pelataran parkir mal. Nino menyentuh pundakku. “Ngelamun, ya? Kita udah sampai nih,” katanya sambil mengusap pipi kananku dengan lembut. “Atau kamu ingin kita pacaran dulu di mobil, mumpung tempat parkir lagi sepi?” godanya.

Aku mencubit pipinya. “Nakal, ya…”

“Biarin aja. Kan aku nakalnya sama pacar sendiri…” Nino mengerling. “Yuk, turun!” Dia keluar dari mobil, menutup pintu, lalu berjalan ke sisi kiri, membukakan pintu untukku.

Jujur, aku sempat terkaget-kaget saat dia bilang soal ‘pacar sendiri’ itu tadi.

What does it mean?

Pacar?

Sejak kapan kami pacaran?

Dan… kenapa dia bilang kami pacaran?

Have I ever said that boyfriend-girlfriend thing to his cute face?

Mendadak, aku seperti kehilangan daya untuk sekedar bernafas!

*

Aku cuman ingin bekerja tanpa kesalahan; that’s why I was so settled with my decision, tidak menambah pegawai baru dulu sampai temen-temen protes.

Aku cuman ingin feel good about myself; itulah kenapa aku rajin datang ke gym, menggunakan personal trainer, dan berkonsultasi pada Ahli Gizi menu apakah yang mengenyangkan, memenuhi kebutuhan giziku, tanpa perlu membuatku gendut.

Ada banyak hal lain lagi yang harus sempurna.

Kopi dengan takaran yang pas.

Sepatu dengan bahan kulit yang lembut.

Ranjang dengan bed sheet cover yang halus, minim corak, dan berbau wangi.

Oh ya. Satu hal lagi.

I want a perfect husband. Lelaki yang usianya tiga tahun lebih tua. Memiliki sepasang mata berwarna hitam kecoklatan. Berambut ikal. Bertubuh setinggi seratus delapan puluhan. Tidak terlalu gemuk. Berkulit tan seksi. Dan memakai pakaian yang casual, dengan celana jeans dan t-shirtnya. Mengendarai cool jeep warna biru langit dan penikmat kopi di setiap pagi dan malamnya. Hobi mencubit roti tawar yang ditelannya saja tanpa semiran selai atau mentega.

Lelaki itu.

Lelaki yang sangat spefisik.

Aku tidak pernah tahu kenapa aku menunggu lelaki itu… lelaki yang datang di dalam mimpiku, once upon a dream, saat aku masih usia belasan.

Aku tidak pernah tahu kenapa aku selalu membanding-bandingkan siapapun dengan lelaki yang tak pernah kutemui dalam kenyataan, yang hanya kutemui setiap kali aku merindukannya dan menginginkannya hadir dalam mimpi; dalam setiap mata yang terpejam, kapanpun.

Seperti aku yang tidak pernah bisa berhenti membandingkan Nino dengan lelaki yang entah apakah dia benar-benar ada.  Seperti aku yang kemudian mengabaikan Nino dan membiarkan ciuman-ciuman itu mengalir tanpa rasa apapun.

I want a perfect man for me.

I’ve been waiting long enough.

Aku tidak mau merusaknya dengan membiarkan Nino masuk ke hatiku lebih dalam lagi.

I know, it seems that I’m a slut; to kiss and be kissed by him, every single moment we spent together.

Tapi Nino tak perlu tahu soal ini, kan?

Tentang the perfectionist Miss June yang cuman ingin mendapatkan apa yang ia mau….

 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates

design by Grumpy Cow Graphics