Monday, June 1, 2009

(5) The Perfectionist Miss June : Junita Christina

Aku ingin secangkir teh.

Dengan gula sedikit.

Lalu menikmatinya dengan tenang sambil mengamati senja berganti warna.

 

Aku ingin sepotong cheese cake.

Dengan strawberry segar di atasnya.

Lalu menyuapkannya sedikit demi sedikit ke mulut sambil menikmati angin berbisik di teras rumah.

 

Aku cuman ingin menikmati waktuku; kenapa perempuan jelek ini malah memaksaku untuk terus menerus terjaga dan tidak rela kalau aku melakukan kekacauan? Kalau aku ingin bervariasi sedikit saja? Kalau aku ingin sekali-kali mengambil sebuah langkah yang extraordinary lalu menikmati kesalahan yang mungkin aku lakukan?

I want to be myself and make my mistakes, like other people do.

Kenapa aku musti jadi Junita Christina yang terlalu perfeksionis?

Perempuan yang menyebalkan!

*

“Belum pulang, Mbak?”

Sebuah kepala menyembul dari balik pintu dan sedikit mengagetkanku yang tengah sibuk di depan laptop. Aku sedang memberesi data-data keuangan yang belum kelar juga padahal sudah pukul setengah delapan malam.

Aku melihat wajah Nino, lelaki umur dua puluh dua yang baru bergabung di kantor ini sejak empat bulan yang lalu dan menjadi anak buahku di departemen keuangan. Anak orang kaya yang tidak peduli dengan gaji yang rendah itu kini tersenyum, cengar-cengir seperti anak kecil yang polos. It’s always nice to see his smile, seperti pengendara unta yang kehausan di gurun sahara lalu menemukan oase.

“Masuk, No,” pintaku setelah membalas senyum manisnya. “Kamu sendiri belum pulang?”

Sebagai kepala bagiannya, aku tahu persis kalau Nino sedang tidak terburu deadline atau apa, karena aku yang mendelegasikan pekerjaan apapun buat dia, Rita, Imam, dan Hendra, staff Keuangan di kantor ini. He must be doing the same thing. Dan itu membuatku tersenyum lagi.

“Sudah makan?” tanyanya.

Sudah makan? Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menyuapkan sesuatu di mulutku. Sepertinya tadi pagi aku sudah melewatkan sarapan dan hanya menyeruput dua gelas kopi susu sambil memeriksa beberapa laporan keuangan yang bikin syarafku kebelit-kebelit. Siang tadi? Hm, cuman sepotong black forest pemberian Henny, sekretaris Boss yang hari ini ulang tahun.

Intinya:

AKU BELUM MAKAN!

Aku menggeleng sambil berkata, “Sepotong black forest dari Henny sudah bisa dikategorikan ‘udah makan’ belum ya, No?”

Nino mendelik. “Cuman sepotong kue tar, Mbak? Itu bukan makan namanya. Itu ngemil! NGEMIL!” Nino menggeleng-gelengkan kepalanya dan memandangku seperti tak percaya. “Kerja sih kerja, tapi nggak usah pake acara self torturing gini, dong,” katanya sambil meraih telepon yang ada di sudut mejaku.

“Hey, mo nelepon siapa, No?”

“Mau telepon Mie Hongkong yang bisa terima delivery order,” katanya cepat.

“Eh, eh, tunggu…”

“Kenapa? Mbak pingin beresin kerjaan sekarang juga dan ikut aku makan di sana aja, hm?”

Aku nggak tahu apakah Nino punya ilmu pelet, santet, atau hipnotis seperti Rommy Rafael, tapi yang pasti, kedua pandangan matanya seolah menyihirku untuk bekerja sesuai perintahnya. Sepuluh menit berikutnya aku sudah berada di sebelah Nino, di dalam mobil Toyota Fortuner hitamnya yang membelah jalanan Surabaya yang basah karena hujan yang sempat turun sore tadi.

Hembusan air dingin yang keluar dari air conditioner membelai lembut permukaan kulitku yang kian meremang hanya karena baru saja Nino tak sengaja menyentuh lenganku ketika mencari-cari sesuatu di laci dasbor mobilnya.

God… you’re not making it any easier…

*

Empat bulan yang lalu, Boss cuman bilang, “Junita, saya baru saja merekrut satu staff lagi untuk membantu kamu. Saya lihat kerjaan kalian sudah terlampau overload.”

Rita, Imam, dan Hendra memang sudah mulai mengeluh karena beban pekerjaan yang meningkat sejak Indira mengundurkan diri setelah menikah, dua bulan yang lalu. Aku, sih, sebetulnya bisa menghandle semua ini sendiri. I could work my ass off sampai malam sekalipun. Aku sudah terbiasa untuk kerja sendiri, tapi rupanya tidak dengan ketiga anak buahku yang akhirnya berteriak meminta si Boss untuk mencari pengganti Indira.

Okay, Pak. Kapan dia bisa bergabung dengan kita?”

“Nino akan bergabung mulai tanggal satu nanti, June. Artinya, tiga hari lagi.”

Aku menganggukkan kepala. If only I could say, “Oh, don’t bother, Boss, aku baik-baik aja dengan kerjaan yang menumpuk, kok. Santai saja, nggak usah repot-repot merekrut karyawan baru yang cuman akan menambah-nambah kerjaanku aja.”

Tapi, aku nggak akan pernah bisa bilang begitu pada Pak Yudhistira, kan? Bagaimanapun, I work my ass off… in his office. Jadi, apapun yang keluar dari mulutnya adalah titah yang tak boleh terbantah.

How happy!

Empat bulan yang lalu, aku sebal setengah mati dengan Nino, apalagi setelah tahu kalau ternyata lelaki lulusan Universitas luar negeri itu adalah anak pengusaha yang omsetnya trilyunan tiap tahun. Aku sebal karena setahuku, anak-anak seumuran dia, dari latar belakang orang kaya seperti dia, Nino akan menganggap pekerjaan ini sebagai main-main. Aku sudah kapok dengan Sasya, anak pejabat yang menganggap kantor kami sebagai lembaga training dan bukannya tempat orang-orang butuh duit setiap bulannya dan bergantung di sini untuk mendapatkan gaji.  Aku nggak suka dengan karyawan baru dengan latar belakang seperti Nino; bisa nggak sih, dia membangun perusahaan sendiri yang bebas ia acak-acak seenak udelnya? Nggak usah melibatkan siapapun, deh, especially me.

Give yourself a break, June,” kata Rea, empat bulan yang lalu.

“Gimana kalau semuanya malah tambah kacau, Re?”

“Gimana elo bisa tahu, Sayang? If you never allow him to make an effort, you will never know.”

Aku menuruti Rea. Aku mencoba untuk berbaik-baik dengan Nino dan mendelegasikan beberapa pekerjaan ringan untuknya; jenis-jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan sarjana lulusan universitas luar negeri seperti dia.

Satu bulan berikutnya, Nino sudah berani masuk ke ruanganku sambil berkata, “Saya bisa melakukan yang lebih baik dari sekedar filing dan jadi kurir.”

Dua bulan berikutnya, Nino sudah berani masuk ke ruanganku sambil berkata, “Gimana kalau kita ubah sistemnya menjadi cara saya tadi? Bukankah dengan memotong jalan, kita nggak perlu ribet-ribet sampai pulang larut? Semua bakal senang.”

Tiga bulan berikutnya, Nino masuk ke ruanganku lagi sambil berkata, “Tahu nggak, sih, kalau jam kerja cuman sampai jam lima sore?”

Dua minggu setelahnya, dia berani bilang, “Thanks for kissing me back…”

Karena aku membiarkan Nino mencium bibirku usai kami bertengkar di dalam lift!

*

“Jadi lo pacaran sama anak bawang itu, June?” Alin, Drama Queen kami, membelalakkan matanya.

“Hus! Siapa bilang kami pacaran, Alin Kanisha!”

“… Gunawan. Lo lupa sebutin satu lagi,” kata Lana sambil ketawa ketiwi.

Ck-ck-ck. Memang menyebalkan kalau duo Ratu Hollywood ini sedang kompak-kompaknya seperti ini. Rea! Come rescue me, please… Itu anak kemana aja sih, kok belum dateng-dateng juga… Jangan-jangan lagi pacaran sama Kemal. Biar anti-romance, tapi itu anak nafsu juga sama lelaki. Jenis manusia yang mengherankan.

“Iye, iye. Alin Kanisha Gunawan, gue nggak pacaran sama Nino,” kataku.

“Tapi kok udah ciuman?”

“Emang kalau udah ciuman, artinya udah officially commited gitu?” Lana nyeletuk.

“Paling tidak, itu versi gua, Lana,” kata Alin sambil menoleh dengan sewot ke arah sahabatku yang satunya. “Entah ya, definisi elo seperti apa, yang pasti… buat gua, ciuman musti pakai perasaan!”

“Kalau perasaan nafsu, gimana? Pake perasaan juga, kan, Lin?” Tanya Lana lagi.

“Ih! Kelana Lesmana…”

“…Dewi. Dewi. Kelana Lesmana Dewi,” potongku. “Jangan lupa yang terakhir…” Aku terkekeh.

“Iye, Junita Christina. Gua nggak bakal lupa sama nama anak bawel ini!”

Aku dan Lana tertawa melihat tingkah Alin yang mirip bayi ngamuk karena isi dot susunya habis padahal dia masih kelaparan.

“Udah, ah. Kalian ini bisanya berantem doang,” kataku. “Gini ya, Alin, gue nggak pacaran sama Nino. Terserah elu punya definisi seperti apa soal ciuman itu, tapi…. Tapiiiiii…. Gue sama Nino emang nggak pacaran. It was just an accidental kiss, Darlene..

“Bener cuman accidental kiss?” Tanya Lana sambil kedip-kedip keganjenan.

“Kenapa emangnya?” tanyaku. Curiga!

“Yakin, nggak ada yang kedua, ketiga, keempat….”

Ups!

Rupanya reaksiku yang barusan segera memancing Alin untuk menghujaniku dengan kata-katanya yang bawel.

Accidental kiss, gundulmu! Itu doyan, Gebleg! Bukan nggak sengaja….!”

Kami tertawa.

Di dalam hati, aku hanya berujar, “Siapa suruh ciuman Nino bisa seenak itu? Rugi kalau nggak ciuman sama dia!

Dan tentunya, kalimat-kalimat najong itu hanya bermain-main di dalam kepalaku…

*

Toyota Fortuner hitamnya sudah terparkir sempurna di pelataran parkir mal. Nino menyentuh pundakku. “Ngelamun, ya? Kita udah sampai nih,” katanya sambil mengusap pipi kananku dengan lembut. “Atau kamu ingin kita pacaran dulu di mobil, mumpung tempat parkir lagi sepi?” godanya.

Aku mencubit pipinya. “Nakal, ya…”

“Biarin aja. Kan aku nakalnya sama pacar sendiri…” Nino mengerling. “Yuk, turun!” Dia keluar dari mobil, menutup pintu, lalu berjalan ke sisi kiri, membukakan pintu untukku.

Jujur, aku sempat terkaget-kaget saat dia bilang soal ‘pacar sendiri’ itu tadi.

What does it mean?

Pacar?

Sejak kapan kami pacaran?

Dan… kenapa dia bilang kami pacaran?

Have I ever said that boyfriend-girlfriend thing to his cute face?

Mendadak, aku seperti kehilangan daya untuk sekedar bernafas!

*

Aku cuman ingin bekerja tanpa kesalahan; that’s why I was so settled with my decision, tidak menambah pegawai baru dulu sampai temen-temen protes.

Aku cuman ingin feel good about myself; itulah kenapa aku rajin datang ke gym, menggunakan personal trainer, dan berkonsultasi pada Ahli Gizi menu apakah yang mengenyangkan, memenuhi kebutuhan giziku, tanpa perlu membuatku gendut.

Ada banyak hal lain lagi yang harus sempurna.

Kopi dengan takaran yang pas.

Sepatu dengan bahan kulit yang lembut.

Ranjang dengan bed sheet cover yang halus, minim corak, dan berbau wangi.

Oh ya. Satu hal lagi.

I want a perfect husband. Lelaki yang usianya tiga tahun lebih tua. Memiliki sepasang mata berwarna hitam kecoklatan. Berambut ikal. Bertubuh setinggi seratus delapan puluhan. Tidak terlalu gemuk. Berkulit tan seksi. Dan memakai pakaian yang casual, dengan celana jeans dan t-shirtnya. Mengendarai cool jeep warna biru langit dan penikmat kopi di setiap pagi dan malamnya. Hobi mencubit roti tawar yang ditelannya saja tanpa semiran selai atau mentega.

Lelaki itu.

Lelaki yang sangat spefisik.

Aku tidak pernah tahu kenapa aku menunggu lelaki itu… lelaki yang datang di dalam mimpiku, once upon a dream, saat aku masih usia belasan.

Aku tidak pernah tahu kenapa aku selalu membanding-bandingkan siapapun dengan lelaki yang tak pernah kutemui dalam kenyataan, yang hanya kutemui setiap kali aku merindukannya dan menginginkannya hadir dalam mimpi; dalam setiap mata yang terpejam, kapanpun.

Seperti aku yang tidak pernah bisa berhenti membandingkan Nino dengan lelaki yang entah apakah dia benar-benar ada.  Seperti aku yang kemudian mengabaikan Nino dan membiarkan ciuman-ciuman itu mengalir tanpa rasa apapun.

I want a perfect man for me.

I’ve been waiting long enough.

Aku tidak mau merusaknya dengan membiarkan Nino masuk ke hatiku lebih dalam lagi.

I know, it seems that I’m a slut; to kiss and be kissed by him, every single moment we spent together.

Tapi Nino tak perlu tahu soal ini, kan?

Tentang the perfectionist Miss June yang cuman ingin mendapatkan apa yang ia mau….

0 comments:

 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates

design by Grumpy Cow Graphics