Monday, June 1, 2009

(2) The Sinner : Kelana Lesmana Dewi

You’re perfect, Lana. You know that?

Kata-kata Sakti, seminggu yang lalu, ketika lagi-lagi gue mengiyakan ajakannya untuk bertemu di coffee shop sebuah mal; menyesap kopi sambil merenda kenangan masa lalu.

Hm, actually, I hate to say this: merenda masa lalu. Apa yang musti gue renda, coba? Selain untaian benang kenangan-kenangan buruk setiap dia menyakiti hati gue? Setiap dia ninggalin gue demi perempuan-perempuan cantik yang mondar-mandir di catwalk atau nongol di televisi?

Gue benci Sakti; for hurting me that bad.

Tapi gue benci diri gue sendiri; for always giving him the chance to do that.

Seperti gue mengiyakan ajakannya minggu kemarin cuman karena dia bilang, “I have to see you, Lana. Please…

Dan minggu kemarin itu, di ujung sebuah pekan, gue musti memohon (er.. mengiba, lebih tepatnya) supaya June memundurkan acara kencan kami sampai minggu depan. He only had that night. Pesawat Sakti akan membawanya ke Ibukota dalam hitungan jam.

Dalam tiga hari, entah sudah berapa puluh kali dia menelepon gue, meninggalkan pesan-pesan di ponsel, sampai mengirimkan email yang intinya sih ingin mengajak gue ketemuan, tapi semuanya gue reject, gue se-bodo-teung-in. Cuman satu telepon yang gue angkat; and there I was, with him, and I didn’t tell anyone about this.

Malam itu, Sakti bersikap manis sekali. He was a perfect gentleman, yang memperlakukan gue seperti keramik antik dari China… seperti boneka porselin yang rapuh dan bertuliskan ‘handle with care’. Biasanya Sakti tidak semanis ini. Biasanya gue yang selalu bermanis-manis setiap ada di dekatnya. Biasanya selalu gue yang menjaga perasaannya supaya dia nggak membenci gue.

Tapi malam itu, he was like a prince who’s trying to win a princess’ heart.

He was trying to win my heart… wasn’t he?

You’re perfect, Lana…” katanya untuk memecah dead air yang sempat terjadi. Gue sedang nggak ingin banyak omong. Gue takut, mulut ember gue bakal bocor dan seluruh kata-kata nggak penting itu akan membuat banjir keadaan. I hate my mouth for always saying unnecessary thing. Kalau ada sekolah kepribadian untuk mulut yang terlalu bocor, I’ll be the first person to sign up a class!

Hah.

Kini Sakti bilang kalau gue adalah perempuan yang sempurna. Perfect.

Perfect for what? Untuk disakiti? Untuk ditinggalin? Untuk stabbed in the back? Untuk dikhianati? Untuk diajak reunited dan menerimanya lagi dengan goblognya? If so, then I am that perfect for you, Sakti!

Gue diam. No, no, no. Kata-kata itu gue biarin bermain-main dalam kepala gue. Gue biarin berlari-lari dengan lincahnya dalam isi kepala dan membuat nafsu gue dalam menyedot larutan kafein di dalam gelas semakin hebat. I would rather distract myself from his words, daripada gue bikin drama di coffee shop favorit gue.

I know I wasn’t a good guy, Lana…”

Memangnya sejak kapan elu baik sama gue, eh, Sakti?

I know I hurt you so bad, every time you and I together…

Dan elu baru tahu sekarang?

“Tapi kamu sadar, nggak, sih, kalau aku selalu kembali lagi ke kamu?”

Dan gue nggak pernah sadar kalau gue selalu membuka hati ke elu, Sakti! I hate it, you know. Rea bisa ngebunuh gue dengan tangannya sendiri kalau dia mau!

“Dan aku baru menyadarinya sekarang, Lana… Setelah aku menggunakan otakku… I mean, really use it…” katanya sambil mencoba menyentuh jemari gue.

Whoa whoa! Hold a second, young man! Apa maksud sentuhan elu, eh? Apa maksudnya elu baru sadar sekarang kalau kita selalu balikan, even after the most ridiculous fight?

Gue menarik tangan dan memilih untuk mengaduk-aduk larutan kopi di dalam gelas yang berkali-kali sudah gue sedot dengan grogi. Gila. Ini nggak bisa dibiarin. Sakti sudah memasukkan mantranya di dalam kepala gue. I have to stop him.

“Lan…. Aku sadar sekarang, kalau aku nggak bisa berjauhan dari kamu. Aku sadar, kalau kamu adalah satu-satunya perempuan yang bisa melengkapi aku. You’re a perfect missing piece in my puzzle. Aku tahu kalau kamu adalah istri yang sempurna buat aku, Lana…”

Oh my God… Oh my God…

“Lana… will you please marry me?”

“Sakti…”

I love you…. I really do….

“Sakti… please…

“Lana,” katanya sambil mengangsurkan sebuah kotak hitam berisi cincin berlian yang sangat sempurna. Oh God! Oh God!Will you make me the happiest guy in the universe?”

And will you do the same thing for me?

“Sakti…”

Gue kehilangan kata-kata dan Sakti mengetahuinya.

“Lan, aku tahu ini terlalu tiba-tiba. Aku tahu, mungkin saja kamu sekarang sedang pacaran dengan seseorang atau apalah. I know that for sure, Baby. Tapi aku nggak peduli, Lana. Aku hanya ingin kamu tahu gimana seriusnya aku sekarang. I bought this ring, a couple of months ago. I know, it took me forever to get here, but Baby… I’m here now, for you.”

Gue masih bengong.

“Lan… pesawatku akan berangkat pagi-pagi sekali. Setelah sampai di Jakarta, aku akan traveling ke Eropa untuk urusan bisnis. I’ll be back in two months. Dan aku harap, ketika aku kembali, you are ready to be my wife…

Gue masih bengong.

“Lan?”

“Ya?”

Will you think about it, Baby?”

Gue nggak tahu Setan apa yang meracuni pikiran gue, tapi tanpa ragu, gue menganggukkan kepala dan membiarkan Sakti mencium jemari gue.

Itu saja?

Oh nggak.

I let him kiss my forehead, in the next second.

Itu saja?

Nope. I let him drive me home. Duduk di belakang kemudi Honda Jazz warna hitam gue.

And that was it? Really?

Hhh… Nggak. Bukan itu saja.

Because, I let him sleep over at my apartment.

Lay on my bed, afterward.

With me.

Naked.

In his arm.

*

Pukul tiga pagi.

Gue terbangun karena Sakti mencium bibir gue dengan lembut.

I got to go, Lana,” katanya. “Aku musti balik ke hotel, check out, dan segera ke airport. Pesawatku terbang pukul tujuh pagi. I just wish I could stay longer, Babe…” Dia mencium kening gue dan entah kenapa, perasaan gue seperti kertas yang dirobek-robek kasar tanpa hati.

“Perlu aku antar ke hotel, Sak?” Entah kenapa, gue mulai dengan aku-kamu lagi. Dan entah siapa yang membuat peraturan no-way-to-use-lo-gue-dengan-pacar-sendiri.

Oops. Dengan pacar sendiri? DENGAN. PACAR. SENDIRI. Gue sama Sakti pacaran?

“Bukannya kamu musti kerja, Babe?”

“Kantor nggak bakal bangkrut kalau aku nggak masuk sehari, Sak…”

Okay. It’s now official that I am ruined.

Sakti mencium bibir gue dengan lembut… dan ya, gue membalas ciumannya seolah nggak ingin bibir kami berhenti berpagutan.

You’re perfect, Babe. Please just say ‘yes’…” Sakti memegang kedua pipi gue. Ah, kenapa perasaan gue jadi aneh begini, ya? Kenapa jantung gue seperti konser musik dangdut, yang berdetak-detak dengan noraknya? Kenapa tiba-tiba gue pingin bilang, ‘Iya, Sakti, aku mau jadi istrimu’?

Tapi kenapa kata-kata itu seolah tersesat ketika akan keluar dari tenggorokan gue. Seolah tersesat saat menuju akses keluar dan membuatnya tertahan di dalam mulut gue.

Why is it so very hard to say ‘yes’ and finally end my journey?

Gue menghela nafas. “Sak, I’ll drive you to the airport,” kata gue akhirnya. Tidak menjawab pertanyaan Sakti tadi. He said he’d give me two months to think. Mungkin kata-kata yang tersesat di tenggorokan gue itu sudah berhasil menemukan jalan keluar pada saat Sakti pulang dari Eropa. “Tolong bikinin aku kopi, dong? Masih ingat caranya, kan?”

Lelaki dengan cambang yang tumbuh tak rapi itu mengangguk. “Baby, I remember every detail… including every inch of your body…

Ya. Sakti memang tahu setiap jengkal dari tubuh gue.

Tapi dia nggak pernah tahu, di balik tubuh gue, ada sebuah jiwa yang pernah ia lukai, tapi selalu berhasil ia lambungkan tinggi-tinggi dengan satu kecupan penuh kasih sayang.

Seperti apa yang telah Sakti lakukan barusan.

He took me to Nirvana. A place that I don’t think it’s available for a sinner like me.

*

Gue memang pendosa.

Selain karena gue telah berhubungan seks dengan lelaki yang belum menjadi suami gue, berbohong pada sahabat-sahabat gue; Rea, June, Cathy, dan Alin adalah dosa sedosa-dosanya.

Pulang dari airport, gue musti berbohong pada Cathy. Dia mengingatkan gue soal janji makan siang di dekat kantor gue. Barusan tadi dia nanya, jam berapa dia musti jemput gue di kantor. Tahu apa jawaban gue?

“Kita ganti tempat yuk, Cath?”

“Kenapa, Lan?”

“Gue bosen makan di sana…”

Sejak kapan Hachi  Hachi Bistro ngebosenin? Yang ada, resto Jepang modern itu yang bosen dengan mulut bawel gue setiap ke sana!

“Di mana, dong?”

Gue menyebutkan satu tempat. Nggak terlalu dekat dengan kantor, pastinya, karena gue males banget ketemu dengan Boss atau temen-temen kantor yang suka kelayapan setiap jam makan siang. I told my boss that I got very bad cold today, jadi kalau Big Boss melihat gue sedang makan siang sambil cekikikan dengan Cathy, mungkin hari Senin-nya gue dipaksa lembur sampai dapet potential project sampai satu bulan penuh!

“Ketemu di sana?”

“Sip!”

Gue menutup telepon dengan gelisah. Sakti selalu berhasil membuat gue menjadi pendosa!

0 comments:

 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates

design by Grumpy Cow Graphics