Monday, June 1, 2009

(4) Ordinary Girl : Alin Kanisha Gunawan

Gua nggak main-main dengan kata-kata gua tentang Cathy.

Dia adalah perempuan paling cerdas yang hidupnya seolah udah tertata sejak dia lahir. Pattern hidupnya seperti manusia normal lainnya. Okay, kesannya seperti gua menganggap yang lainnya cacat mental or etc. Bukan, bukan itu maksud gua. Yang gua maksud adalah, Cathy memang prototype perempuan konvensial.

Nggak pernah molor saat sekolah.

Lulus kuliah tepat waktu.

Usai lulus, dia langsung dapet kerjaan.

Dua tahun setelah kerja, dia dikawin sama Erwin, pacarnya sejak kuliah.

Setahun berikutnya dia punya anak.

Bukankah seperti itu perempuan pada umumnya? Seolah sudah aturan baku kalau usia segini, musti sudah begini. Usia segitu, sudah musti begitu. Umur dua sembilan, Cathy sudah memiliki apa yang selama ini cuman jadi impian gua.

Don’t I deserve the same kind of life?

Di penghujung umur tiga puluh ini, gua masih menjadi perempuan kantoran, minus karir hebat seperti Cathy, talenta menulis seperti Lana, sixth sense seperti June, atau pikiran super kritis dan super bawel seperti Rea. Gua masih hidup menumpang di rumah Marina, kakak semata wayang gua yang sikapnya seperti Hitler yang keinjek kakinya. Gua belum punya rumah seperti Cathy dan June. Atau menyewa apartemen di pinggiran Surabaya seperti Lana bahkan pernah ngerasain hidup mandiri seperti Rea.

Nasib percintaan gua? Ah. Gua sedang recovery process yang berlangsung sejak dua tahun yang lalu, saat Darius menghilang dari radar kehidupan gua. Semua sahabat-sahabat gua sedang asyik-asyiknya merancang masa depan. Bahkan Rea yang anti-romance pun kini sedang berpacaran dengan Kemal, lelaki yang memujanya seolah Goddess with biggest boobs! 

Great!

Memang dulu orang tua gua salah apa sampai puteri bungsunya masih begini-begini saja di usia yang nyaris tiga puluh?

Oh Mami… maafkan anakmu ini, ya? Rest in heaven with peace, ya, Mi…

“Jangan ngerasa lo ordinary lah, Lin…”

Suatu malam, gua memutuskan untuk menginap di apartemen Lana, runaway place gua setiap bertengkar dengan Marina. Di mata Marina, gua tetep jadi anak kecil yang nggak boleh punya keinginan. Gua adalah Alin, adik kecilnya yang musti dia jaga sesuai dengan amanah Mami.

I know, she’s just being a good sister. Tapi sampai kapan gua harus wajib lapor setiap kali gua ingin menghabiskan waktu lebih lama di luar? Dan sampai kapan gua nggak boleh tinggal di kost atau patungan biaya apartemen dengan Lana?

Okay. Back to my conversation with Lana at her apartment.

“Gue emang ordinary, kale…”

“Yee, setiap orang tuh spesial, Alin. Even for a living Baby Huey like you,” kata Lana sambil tertawa.

Lana memang nyebelin. She always makes fun of my Baby Huey figure. Tapi anehnya, gua selalu berhasil dibuatnya tertawa. Mungkin ini karena Lana adalah teman baik gua dan kenyataan bahwa bentuk badan gua memang sangat mirip dengan Baby Huey, tokoh kartun Angsa yang badannya gedhe banget itu. Oh ya, dengan botol susu yang digembolnya kemana-mana.

“Sialan, lo.”

“Haha, gue becanda kali, Huey…” Lana ketawa lagi.

Gua pura-pura cemberut dan memandangnya. “Gua emang nggak bakal semenarik elu, ya, Lan?”

“Hah? Maksud lo?”

“Yaa… maksud gua, even elo nggak selangsing June or Cathy, tapi sexual appeal lo itu dahsyat banget, you know.”

“Haha. Lebay…”

“Eh, serius. Kalau gua bilang, biar kata elo pake daster dan rol-rolan rambut, tetep aja banyak cowok yang pingin gituin elo.”

Gituin gimana?”

“Ya, elo tahu lah… Have sex gitu…”

Kali ini Lana langsung ketawa. “Edan bahasa elo, Lin. Emangnya gua apaan? Cewek yang segitunya sampai bikin setiap cowok yang ngeliat langsung horny?”

“Kenyataan berkata demikian, Sahabat. They wanna do you, but then leave you.”

“Idih! Menyebalkan!”

“Tapi itu bikin elo nggak ordinary, Lana. Elo jadi makhluk perempuan yang spesial…”

“Karena abis digituin terus gampang ditinggalin, gitu?”

“Yeee… bukan itu maksud gue, kale…”

“Nah, apa maksud elo, coba?”

“Maksud gue… itu adalah kelebihan elo, punya sex appeal  yang dahsyat, supel, dan orang selalu mengagumi elo. Kelana Lesmana Dewi itu seperti queen bee dengan lebah-lebah yang rela mati buat dia.”

“Hmmm…”

“Sedangkan gue? Sampai hari ini, gue masih ‘mati’ gara-gara Darius nggak pernah bisa lari dalam kehidupan gue. Dan gue nggak pernah bisa moved on… sampai sekarang.”

Lana terdiam.

“Lo pikir gue udah moved on dari Sakti?”

Sure. Elo kan udah pacaran sama Ramon. Artinya, elo udah moved on dari Sakti, Lana.”

“Yakin?”

“Heh. Kenapa emangnya?”

Gua lihat wajah Lana segera berubah. Langit Surabaya memang sedang gelap dan mendung, tapi kegelisahan di raut wajah sahabat gua itu terlihat begitu jelas. Ah, gua benci harus menghadirkan kembali kenangan soal Sakti di dalam benak Lana. Sakti terlalu menyebalkan, even to mention in my head. Dia sudah bikin kacau hidup sahabat gua selama dua tahun belakangan ini. Gua pikir, Ramon adalah lelaki yang bakal membuat Lana sadar kalau Sakti adalah lelaki bajingan yang nggak boleh hadir lagi. Even to knock her door and say that he’s sorry. Sudah cukup.

“Dia akan datang ke Surabaya hari Rabu ini, Lin,” kata Lana pelan. “Dia SMS gue setelah gue reject semua telepon-teleponnya.”

Gua nggak bisa bernafas. Nama Sakti terlalu beracun buat nafas gua.

“Kenapa gue nggak bisa jadi kayak elu aja, sih, Lin?”

“Apa?”

“Jadi perempuan yang hidupnya nggak terlalu ribet.”

Meaning?”

“Lu tahu, kan, waktu gue bilang elu tuh nggak ordinary?”

“Tentu. Kenapa?”

“Karena buat gue, kehidupan elu yang mungkin menurut elu super standard adalah impian gue… Dan cuman perempuan spesial aja yang berhak mendapatkannya.. Bukan perempuan gebleg seperti gue…”

*

Menginap di apartemen Lana seolah menginap di Surga. Okay, mungkin terkesan berlebihan, tapi untuk seorang perempuan yang setiap hari selalu tidur di bawah satu atap dengan kakak perempuannya yang bawel dan nggak pernah berhenti ngomel (untung dia nggak ngigo saat tidur, kalau iya… gua bakal semakin stress!), apartemen Lana adalah a so-called-heaven.

Meskipun apartemennya sangat mungil, dengan model studio, dengan tempat tidur yang langsung terlihat ketika membuka pintu, tapi entah kenapa, suasananya begitu nyaman dan menenangkan. Pilihan cat dinding yang berwarna putih gading dengan mebel ekstra minimalis (yang kata Lana, “Bukannya sengaja minimalis, tapi karena gue nggak punya duit, Beib…) serta pengharum ruangan yang beberapa jam sekali menyemprotkan wangi apel hijau segar, menjadikan apartemen Lana sebagai markas pertemuan kami. Oh yes, by ‘kami’ I mean the whole gang; June, Rea, juga the married woman, Cathy.

You know what’s the best part of her apartment?

Teras!

Ya, teras.

Teras mungil yang menghadap ke kolam renang; suatu tempat yang memungkinkan elu melihat banyak lelaki-lelaki bertelanjang dada sedang berjemur di sana! Okay, memang ada juga ibu-ibu dengan gelambir lemak di mana-mana (iya, kayak gua!), atau bapak-bapak tua dengan keriput di bokongnya (sumpah, kadang emang keliatan, dan gua nggak sengaja ngeliatnya), skinny bitches yang sepertinya anoreksia (pardon my French, karena gua ngiri berat sama perempuan-perempuan dengan tubuh ceking dan dengan sombongnya bilang, “Padahal gue makannya biasa aja… Nggak pake diet segala…” Idih! Pingin gua sambit sama bumerang?), juga anak-anak kecil yang berlarian ke sana-kemari kayak cacing kepanasan.

Tapi tetap saja. Akan selalu ada lelaki-lelaki ganteng yang tinggal di tower satunya, yang setiap Sabtu pagi selalu memamerkan dadanya yang berbulu di pinggir kolam renang dan sesekali menggoda Lana dengan kedipan mata mereka.

Ugh yeah. Serasa gua invisible ajah!

Enough said, apartemen Lana adalah surga buat gua. Dan kalau sedang berada di Surga, sumpah mampus gua males pulang ke Neraka.

Seperti pagi ini. Gua dan Lana sedang asyik ngeteh di teras apartemennya. Well, just so you know, ngeteh adalah salah satu must do activity saat menghabiskan akhir pekan di tempat Lana. Dan satu hal lagi, ngeteh cuman excuse supaya kami bisa asyik ngeliatin cowok-cowok ganteng yang bertelanjang dada itu!

“Kalau Marina nggak kayak Hitler, gue pasti udah boyongan ke apartemen elo, Lan…”

“Boyongan ke apartemen gue? Emangnya gue bolehin, gitu?” kata Lana sambil melambaikan tangannya ke satu cowok yang sedang berjemur di pinggir kolam renang. Aduh, kenapa sih, cowok itu jadi mirip daging dendeng yang dijemur dan gua jadi mirip kucing kelaperan gini?

“Sialan lo, Lan,” tukas gua. “Lo tahu maksud gue, kan?”

“Tau, lah,” katanya. “Pindah ke sini gratisan dan gue nggak ngebolehin, kan?”

“Dasar gebleg!”

“Idih, ngambekan. Elu makin mirip Baby Huey kalau ngambekan gitu, Lin… Lama-lama gue kasih botol susu sekalian sama peniti gedhe supaya elo makin mirip, gimana?”

“Sialan!”

“Tapi gue serius, Lan. Mau sampai kapan gue harus tinggal seatap sama Marina, coba? Gue hampir tiga puluh, tapi yang ada gue kayak tinggal di ketek Marina terus!”

“Emang siapa suruh?”

“Marina, lah!”

“Masa? Emang lo udah discuss ma Marina, gitu?”

Gua terdiam. Jawaban apa yang bisa gua kasih ke Lana, kalau gua bener-bener nggak ngerti harus bilang apa. Gua nggak pernah berdiskusi dengan Marina, yang ada setiap percakapan selalu kami berujung ke debat kusir yang pasti bikin Marina naik darah dan gua membanting pintu kamar. Gua menghindari obrolan-obrolan serius dengan Marina; I’m not planning to die in my golden age (cih! Barusan gua ngomong apa, sih?).

“Lo mikirin apa, sih, Lin?” Tanya Lana setelah gua diemin semenitan lebih. Gua tersenyum kecil. Nggak bersemangat untuk senyum lebar setelah membayangkan wajah Marina yang bersungut-sungut ketika semalam tadi gua pamit nginep di rumah Lana dengan satu kebohongan: Lana lagi banyak masalah, she needs me.

“Gua mikir kenapa Marina memperlakukan gua kayak tahanan kota,” cetus gua kesal.

“Dia menganggap elo adik kecilnya,” kata Lana.

“Tapi dua tahun lagi gua bakal tiga puluh dan Marina keterlaluan banget kalo masih nganggep gua kayak anak kecil.”

“Marina nggak anggep elo kayak anak kecil, Alin. Dia anggep elo sebagai adiknya, bukan anak kecil.”

“Apa bedanya?”

“Kalau dia anggep elo anak kecil, dia nggak bakal ngebiarin elo punya keinginan kerja di tempat yang elo suka. Dia nggak bakalan ngebiarin elo kuliah di fakultas manapun yang elo pilih. Dia ngebiarin elo punya pilihan, Alin.”

“Terus?”

“Dia cuman nggak kepingin elo salah langkah dan ruined, tahu nggak sih? Tante Nien pasti udah ngasih wejangan-wejangan sebelum beliau meninggal ke Marina; urusannya pasti nggak jauh-jauh dari soal ngejagain elo.”

“Gue nggak perlu dijaga, Lana. I can control myself!”

“Oh ya? You can control yourself, eh? Then tell me what went wrong in your head sampai elo kepikiran untuk bunuh diri pas Darius ninggalin elo waktu itu? Tell me!” Nada suara Lana meninggi dan merobek hati gua seketika.

Darius. Ninggalin. Gua. Demi. Lolita.

And it was my lowest point.

Dan setiap mengingat peristiwa itu, gua merasa sangat bodoh, tolol, dan malu. Gara-gara ketololan gua saat itu, Marina menghabiskan energinya untuk mengawasi gua di rumah sakit, menjauhkan benda-benda yang bisa mencelakai gua, termasuk garpu untuk makan dari rumah sakit. Sepulang dari rumah sakit, Marina memilih untuk tinggal di rumah Mami karena dia takut Mami yang sudah tua dan sakit-sakitan tak bisa sepenuhnya ngawasin gua.

I knew how much she cared about me.

I knew that she put a lot of effort to keep me safe and sound, those horrible days.

Tapi bukankah itu sudah dua tahun yang lalu? Marina harusnya nyadar kalau gua telah belajar sesuatu dari kesalahan yang sudah gua lakukan…

I ruined her trust, Lana,” kata gua, pedih.

But you can always win it back,” tukas sahabat gua dengan kerlingannya yang khas. Lana menggenggam jemari gua dan meremasnya dengan lembut, seolah mengalirkan energi di sana, di setiap ruas jari gua. “Gue tahu banget, elo pasti bisa, Alin…”

You do?”

Lana tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya dan bilang, “Because I know that every body deserves a second chance…”

Gua kehilangan kata-kata.

Lana, Sales Manager yang juga penulis sableng itu selalu tahu kalimat-kalimat apa yang bisa menenangkan gua. Kata-katanya selalu berhasil mendamaikan badai di hati gua. She always knows how to make me smile again.

Ah.

I just looooove her.

And that’s why I told you; I am in Heaven now.

0 comments:

 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates

design by Grumpy Cow Graphics