Sunday, June 21, 2009

(7) Ring a Ding Ding!

What’s so special about Sakti anyway, Lan?”

Pertanyaan itu yang terus-menerus terngiang di dalam pikiran Lana ketika mengemudi Honda Jazz hitamnya menyusuri jalanan Surabaya yang gemerlap dengan hiasan lampu warna-warni di pinggir jalan. Menyesaki pikirannya yang sudah terlalu sesak, persisnya sejak Sakti menyodorkan kotak berlapis beludru warna hitam dengan cincin bermata berlian yang sangat sempurna, beberapa hari yang lalu.

Lana tak bisa menyalahkan kenapa pertanyaan itu sampai terloncat keluar dari mulut sahabat-sahabatnya. Memangnya apa yang dimiliki Sakti sehingga Lana harus mengatakan, “I’ll think about it,” padahal jelas-jelas kini sudah ada Ramon, lelaki yang menurut Rea adalah lelaki paling normal di antara lelaki-lelaki yang pernah datang dan pergi dalam hidup Lana. Definisi normal menurut Rea adalah always stay in best or worst, bukan pria beristri, bukan pacar perempuan lain, atau tipe-tipe penebar benih seperti Sakti. Ramon adalah the best of all the guys yang pernah dekat di hati Lana. Cuman Ramon yang sangat sempurna untuk menjadi suaminya…

Ah Ramon! I wasn’t even thinking about him while I was sleeping with Sakti! Lana mengaduh dalam hati. Dia merasa seperti perempuan yang bebal dan tidak tahu bersyukur karena hidup telah memperkenalkannya pada Ramon; ahli komputer yang dengan keahliannya itu telah membawanya berkeliling dunia (dan berjanji akan mengajak Lana berkeliling dunia bersamanya setelah menikah).

Menikah?

Entah kenapa, Lana mendadak berubah menjadi seperti Rea setiap saat mendengar kata itu keluar dari mulut Ramon saat mereka sedang bercengkerama di depan televisi sambil mengunyah keripik kentang favorit mereka berdua. Ya, menikah. Sebuah kata yang entah kenapa malah terasa menggelikan setiap kali Ramon mengucapkannya dengan nada sungguh-sungguh.

“Tahun depan, aku sudah harus menetap di Amerika, Sayang,” kata Ramon, beberapa minggu yang lalu, tepat sebelum ia bertolak ke Belgia. Tentu karena urusan pekerjaan.

“Amerika? Amerika-nya Obama?”

Dalam hati, Lana tertawa sendiri. Memangnya ada berapa biji Amerika di dalam isi kepalamu, Lana? Amerika blok B atau Amerika gang buntu, barangkali?

“Iya, Sayang. Amerika-nya Pak Obama,” kata Ramon sambil mengusap sayang belakang kepala Lana lalu mengecupnya perlahan. “Mulai tahun depan, aku akan ditarik ke kantor pusat di Amerika…”

“Wow!” kata Lana. “This is a great news, Baby…” Lana mencium bibirnya. “Selamat, ya…”

Ramon menatap wajah Lana dengan lembut. “Karena itulah, Sayang, we have to get married within this year.

Married?

Lana memandangnya. “Kenapa?”

Baby, because I have to stay there, forever.

Sebetulnya Ramon tak perlu menjelaskan soal itu. Lana cukup cerdas untuk menghubungkan kalimat-kalimat tadi dan sebetulnya memang tidak butuh scientist untuk mengetahui arti kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Ramon.

Ya. Lelaki itu akan pindah ke Amerika. Menetap di sana. Sampai batas waktu yang belum ia ketahui. Not to mention, usianya sudah tiga puluh tujuh tahun. Lelaki matang dengan pekerjaan sempurna. Sekarang, siapa yang butuh ilmuwan untuk mengetahui kemana arah pembicaraan itu?

She’s clever enough to know, tapi Lana memilih untuk bodoh setiap kali Ramon mengungkapkan keinginannya itu!

“Kapan aku bisa ketemu sama Mami Papi, Sayang?”

“Hah? Mau ngapain?”

“Mau melamar kamu, dong…”

“Oh…”

“Kamu tentuin waktunya, ya? Setelah aku pulang dari Belgia, tiga bulan lagi…”

Saat itu, Lana hanya terbengong-bengong dengan kalimat yang meluncur dengan ringannya dari mulut Ramon; kekasihnya enam bulan belakangan ini. Lana tahu, dari awal, Ramon sudah mengatakan kalau ia sedang mencari calon istri, bukan lagi mencari pacar untuk bersenang-senang layaknya ABG. Usianya sudah tidak muda lagi dan pengalaman berpacarannya sudah lebih dari cukup sehingga dia tidak ingin memperbanyak koleksi pengalamannya itu. Lana menyanggupi keinginan Ramon karena ia tahu, lelaki yang dikenalnya di pesawat terbang saat pulang dari business trip ke Singapura bukanlah lelaki yang asal ngomong. Lagipula, Lana juga sedang tidak mencari seorang pacar. Usianya sudah menjelang tiga puluh dan Mami sudah mulai nyap-nyap seperti petasan banting. Ramon adalah lelaki yang tepat untuk menjadi pasangannya. So she said yes.

Nah, lantas kenapa semuanya terasa menggelikan ketika ia mendengar kalimat ajakan menikah itu dari mulut Ramon kalau dari awal Lana sudah mengetahui kemana arah hubungan ini akan menggelinding?

Trrttt….trrrttt…

Tiba di lampu merah, ponsel Lana berdering. Kembali dia mengaduk-aduk isi tas sampai bego, seperti saat ia mencari kotak berisi cincin tadi. Beberapa detik kemudian dia berhasil menemukan ponsel itu dan melihat tulisan Unknown Caller. Hm. Lana menghela nafas.

“Halooo…”

“Sayang, good evening…”

“Hai, hai. Selamat malam juga, Sayang. Baru pulang kantor?”

Perbedaan waktu di antara kami adalah enam jam lebih. Kalau sekarang sudah jam sebelas malam, berarti di belahan bumi Eropa sana masih pukul lima sore.

“Ini sedang jalan ke lift. Hari ini nggak terlalu rush seperti yang sudah-sudah, sehingga aku bisa on time…”

“Ow… Seneng dong, kamu, bisa istirahat di hotel?”

I’m afraid not, Sayang. Tadi Steve sama Robert, temen-temenku, ngajak makan malam. Jam tujuh nanti mereka mau nyusul aku di hotel.”

“Hmm… poor, my Baby… Padahal enakan istirahat, ya, Sayang, daripada jalan mulu…”

“Ada yang lebih enak, sih.”

“Oh, ya? Apa?”

Come home and meet you…

Mendadak Lana merasa tercekat. Apalagi setelah itu, Ramon melanjutkan kalimatnya dengan kata-kata yang sangat manis dan seharusnya bisa membuat hati seorang perempuan meleleh.

I can’t wait to spend the rest of my life with you, Kelana Lesmana Dewi. I can’t wait to be with you… to make you the first person I see every time I wake up and the last person I touch before I close my eyes…

Kalimat-kalimat itu terdengar begitu tulus di telinga Lana. Membuat hati perempuan itu segera diselimuti perasaan bersalah; sangat bersalah! Bagaimana tidak bersalah, kalau beberapa malam yang lalu, tubuhnya berlekatan sempurna dengan tubuh lelaki lain? Lelaki yang beberapa jam sebelumnya telah menyodorkan cincin bermata berlian yang kilaunya menyilaukan mata siapapun yang memandangnya!

Baby, I love you…” kata Ramon.

“Aku juga, Sayang. Aku juga…” Hampir saja kalimat-kalimat itu tercekat di tenggorokannya!

Nice to hear that, Sayang. Aku nggak sabar untuk pulang dan melamar kamu…”

Seketika itu juga, ingatan Lana teringat dengan cincin pemberian Sakti sekaligus dengan kalimat-kalimat manisnya beberapa hari yang lalu; kalimat-kalimat dahsyat yang membuat Lana mengucapkan “I’ll think about it” padahal dia telah memiliki calon suami yang sungguh sempurna seperti Ramon.

Entah kenapa, tidak terbayang wajah Ramon sama sekali ketika Sakti melamarnya. Dan entah kenapa, ketika kekasihnya menginginkan Lana menjadi istrinya, wajah Sakti segera terbayang di dalam isi kepalanya. Tanpa henti! Padahal… OH GOD! Seharusnya malah wajah Ramon yang terbayang saat itu, bukan Sakti!

Lana merasa pening seketika.

Di dalam hatinya, dia sempat berharap kalau mobil Honda Jazz hitam kesayangan ini memiliki fungsi-fungsi ajaibnya Kitt, mobil di film Knight Rider yang bisa bergerak otomatis mengantarnya pulang… safe and sound. Ya, sekaligus membantunya mem-brainwash otaknya sendiri yang sudah dikotori dengan wajah Sakti dan cincin sialannya!

 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates

design by Grumpy Cow Graphics