Monday, June 1, 2009

(3) Happily Married : Catharina Rasmono

“Bunda… Bunda…” rengekan dari kamar sebelah membuat mataku terbuka. Suara Alex di tengah malam mirip sekali dengan mantra yang menyihirku untuk segera terbangun dan melangkahkan kaki ke kamarnya.

Aku bangkit dari tempat tidur. Kulihat Erwin masih lelap dalam tidurnya. Dengkurannya yang halus menandakan dia begitu kecapekan karena kerjanya yang menguras energi. Baru beberapa jam yang lalu dia pulang dari hotel. Dia menjadi manager on duty malam tadi, sehingga baru bisa pulang beberapa menit sebelum pukul dua belas malam.

“Bunda….” Suara Alex lagi.

Bergegas aku memakai sandal dan melangkahkan kakiku ke kamar Alex. Sampai di kamarnya, aku melihat Alex sudah terduduk di ranjangnya. Dengan tubuh berlumur keringat dan nafas yang tersengal-sengal.

Ah, anakku!

“Alex kenapa?” Aku duduk di sampingnya, merangkul bahunya, dan membiarkan kepalanya bersandar di dadaku. “Kamu mimpi buruk lagi, ya?”

Alex, bocah berumur empat tahun itu menganggukkan kepalanya.

“Dikejar-kejar sama Robot lagi?”

“He eh, Bunda…”

“Memangnya Alex abis ngapain sampai Robot-nya marah?”

“Alex pipisin kakinya…”

Aku tersenyum mendengar jawaban Alex yang polos. Dikejar-kejar Robot sudah berhasil memancing senyumku, tapi cerita tentang bagaimana dia mengencingi robot, tidak bisa tidak, aku langsung tertawa.

“Sayang… memangnya kenapa Alex pipis di kaki robot?”

“Abissss… Alex nggak tahan Bunda…”

Dan rupanya, saking nggak tahannya, Alex nggak cuman pipis di kaki Robot yang kemudian ngamuk-ngamuk mengejarnya, tapi juga pipis di atas kasurnya yang membuat aku terpaksa menjemur kasurnya sebelum berangkat ke kantor.

Ah, Alex!

You’re our shiny star in this world… you know that, don’t you, Hun?

*

Mobil kijang kapsul kami membelah jalanan Surabaya pagi-pagi. Erwin, suamiku, yang kali ini berada di balik kendali. Biasanya, aku membawa mobil sendiri setiap hari, tapi berhubung Erwin sedang mengambil cuti, dia rela menjadi supir antar jemput khusus untuk hari ini. Menyenangkan, sih, karena aku nggak perlu repot-repot senewen dan pergelangan kakiku capek setiap macet. Tapi konsekuensinya, aku harus jadi pekerja baik-baik yang tidak keluyuran saat jam kerja! Haha.

“Bunda pulang jam berapa?” Tanya Erwin sambil sebelah tangannya menekan-nekan remote control kecil untuk mengaktifkan MP3 player.

“Seperti biasa, Yah. Jam limaan gitu. Kenapa?”

“Nggak… Cuman nanya aja. Soalnya kita kan perlu ke Hypermart sebentar buat beli keperluan untuk besok…”

Besok, aku dan keluarga kecilku akan pergi ke Bali. Hadiah buat Alex yang kemarin mendapatkan predikat lulusan terbaik di playgroupnya. Dengan predikat itu, dia mendapatkan keistimewaan berupa diskon untuk masuk ke Taman Kanak-Kanak di Yayasan yang sama. Erwin memutuskan untuk mengajak kami liburan ke Bali, supaya Alex tahu, kalau bumi yang dipijaknya tidak hanya melulu asap, jalanan beraspal, gedung-gedung tinggi nan angkuh, dan macet kendaraan. Tapi juga ada sawah-sawah, juga pantai yang eksotik.

Mestinya aku ingin mengajaknya ke Bunaken, tapi Erwin bilang, Bali adalah a starter. Destinasi liburan berikutnya, aku yang pilih. Hore!

“Gampanglah, Yah. Aku sudah mencatat apa saja yang perlu kita beli, jadi sampai di Hypermart, kita nggak usah bawel milih-milih, tapi stick to the list aja.”

“Kamu juga sudah packing, kan, Bun?”

“Aduh, Ayah. Memangnya kamu nggak lihat tumpukan koper di dekat ruang tivi?”

Erwin mengelus belakang kepalaku dan meraihnya sampai ke dekat bibirnya. Dia mencium ubun-ubunku dengan lembut.

“Aku nggak tahu apa yang bakal aku lakukan tanpa kamu, Bunda…”

Aku tersenyum.

I have no idea what I will do without you, too, Ayah. You are a heaven sent that makes a twenty nine years old girl, becomes a happily married woman.

Erwin dan Alex adalah segalanya buat aku.

Thanks God, aku tidak perlu menjadi Lana, June, Rea, dan Alin; sahabat-sahabat perempuanku yang hidupnya tidak pernah jauh dari lelaki-lelaki bajingan yang hanya bisa mengoyak hati mereka setelah mendapatkan semuanya.

Thanks God aku tidak perlu menjadi perempuan-perempuan lajang yang hidupnya hanya berputar pada masalah cinta yang seolah tidak akan pernah selesai. I know they’re all my friends and I love them with all my heart, but sometimes… I couldn’t help to feel sorry for them… For not having their lives like mine.

*

Kamu tahu apa kata-kata Alin saat kami kencan berdua di sebuah rumah makan Sunda, di jantung kota Surabaya, siangnya?

You have a perfect life, Cath.”

Aku hanya tersenyum. Apa arti kata sempurna? Perfect? Aku belum sempat mencari tahu di Kamus Besar Bahasa Indonesia, tapi aku merasakan aura positif di dalam kata itu. Apapun artinya, kata sempurna yang tercetus keluar dari bibir Alin adalah salah satu pujian yang membuat hidungku kembang kempis.

“Sempurna, Lin?” tanyaku. “Apa yang membuat hidup gue sempurna?”

“Karena di umur dua sembilan, elu sudah punya segalanya!”

Aku adalah istri dari Erwin Rasmono, lelaki usia tiga puluh tahun yang kini menjadi F&B Manager sebuah hotel berbintang di Surabaya. Perkawinanku dengan Erwin, lima tahun yang lalu, telah menghadirkan Alex, bocah empat tahun yang kini menjadi bintang di setiap langit malamku.

Soal karir?

Aku tak pernah mengeluh dengan pekerjaanku yang kini sedang berada di puncak karir. Meski masih muda, aku dipercaya untuk menjadi Head of Research and Development. Dengan gaji yang tinggi dan fasilitas perusahaan yang bikin iri, tentu saja.

Erwin dan aku sudah memiliki dua buah rumah. Satu rumah yang kami tinggali hari ini dan sebuah lagi di daerah Malang sana, tempat kami melarikan diri sejenak dari penatnya kota Surabaya.

Aku dan Erwin nyaris tidak pernah bertengkar; bahkan lelaki-ku itu adalah suami paling penurut. Okay. Agak berlebihan, memang. Tapi begitulah caranya memujaku; yaitu dengan menuruti apa saja yang aku mau. Untung aku bukan seperti Alin yang banyak maunya, jadi Erwin tidak terlihat seperti anggota klub Suami-Suami Takut Istri.

Yes.

I think I have a perfect life, seperti yang dibilang Alin.

“Sumpah, kadang gue iri banget ama elu, Cath,” kata Alin sambil mengunyah potongan batagornya. “Lu punya segalanya, sementara gue? Masih stuck dengan karir yang nggak bergerak kemana-mana dan nggak kawin-kawin juga…”

“Ah, elu berlebihan, Lin,” kataku. Nggak enak juga kalau aku menjadi bitchy woman yang bilang ‘ya, ya, ya. Dibandingin gue, elu emang nggak ada apa-apanya’. Biar bagaimanapun, rasanya nggak penting banget kalau aku malah membuat langit di hati Alin menjadi semakin mendung. “Jangan memandang rumput gue lebih hijau kalau elu nggak pernah peduli sama nasib rumput di halaman elu… er, paham maksud gue, kan, Say?”

Alin mengangguk. Dia menyedot orange juicenya sampai tandas.

“Lagipula, tiap orang punya ceritanya sendiri-sendiri, kan? Biarpun kita bersahabat sejak sebelas tahun yang lalu, tapi tetap saja, kita nggak mungkin punya cerita yang sama persis,” kataku. “Even the twin Drama Queen seperti elu sama Lana aja, pasti ceritanya beda…” Aku tersenyum.

Dua Ratu Drama di dalam clique kami adalah Kelana Lesmana Dewi dan Alin Kanisha Gunawan. Dua perempuan pecinta film drama Hollywood dan menasbihkannya sebagai panduan hidup. Rea adalah satu-satunya yang berhasil membuat dua Ratu Drama itu menjejakkan kaki mereka kembali ke tanah. Satu-satunya sahabat yang selalu menjadi pengawas jatuh cinta berlebihan dengan menyiapkan kedua tangannya untuk menarik kaki-kaki sahabatnya. Ah, Lana dan Alin memang pantas untuk ditarik kembali ke tanah. Mereka terlalu Hollywood!

Eh, speak of the Devil…” kata Alin tiba-tiba, sedetik setelah ponselnya bergetar. “Lana telepon.”

Saat Alin menerima telepon dari Lana, aku menseriusi makan siangku. Sudah sepuluh menit lebih nasi putih, ayam goreng, dan lalapan itu tersedia di depanku, tapi aku belum juga menghabiskannya lebih dari seperempat bagian. Sementara jarum terus berdetik dan aku musti kembali ke kantor. Share a cab with Alin, karena aku nggak bawa mobil dan Alin memang malas nyetir kemana-mana. Dia pecinta Taksi sejati. Katanya, biar nggak ribet.

“Lana mau mampir sini bentar, terus mau nganterin kita balik ke kantor,” kata Alin setelah menutup telepon. “Dia lagi ada di sekitar sini.”

“Oh ya? Itu anak emang ngider mulu kerjanya,” kataku sambil tersenyum. “Udah gitu, bensinnya bisa reimburse kantor pula! Nyebelin…”

Alin tertawa. “Nyebelin mana: gue atau Lana?”

“Maksud lo?”

“Apa lo nggak pernah nyadar kalau taksi yang gue tumpangi setiap saat itu free of charge?”

“Hah?”

It’s office expense, Cinta. Mungkin gue iri banget sama kehidupan elu, tapi paling nggak, gue punya facility untuk make taksi seenak udel gue… for free.

“Dengan alasan elu keluar market gitu?”

“Nah, satu hal lagi yang gue iri dari elu. Catharina Rasmono, you are so damn smart!”

Dan kami pun tertawa lepas seolah restoran Sunda yang penuh sesak ini cuman milik kami berdua.

0 comments:

 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates

design by Grumpy Cow Graphics